||22|| Dinginnya Angin Timur

27 1 0
                                    


Halo Rakan Kolor,
Aku ingin menginformasikan bahwa aku aware kalian mungkin kesulitan memahami bahasa daerah yang ada di KISAH KITA. Aku hanya menerjemahkan kalimat yang panjang. Sedangkan, untuk kalimat atau percakapan yang hanya terdiri dari satu kata, tidak aku terjemahkan.

Kenapa?

Karena kata tersebut sudah pernah diulang di bab-bab sebelumnya.

JADI UNTUK BAB INI DAN BAB SELANJUTNYA KOSA KATA/KALIMAT BAHASA ACEH SAMA TERJEMAHANYA AKU MIRINGIN BIAR KALIAN NYAMAN JUGA BACANYA.

Terima kasih banyak atas komentar kalian yang sangat membantu, guys! Aku sangat menghargai kritik dan saran kalian demi kenyamanan kalian sebagai pembaca.

Jangan ragu untuk terus memberikan masukan ya!

Aku tunggu saran dan kritikan kalian di bab ini, agar di bab selanjutnya bisa jadi lebih baik lagi.

Terima kasih atas dukungannya!

***

Banta yang merasa lelah setelah seharian bekerja di sawah, merebahkan dirinya dengan perlahan di atas ranjang. Meskipun kasur yang ia gunakan tidak empuk dan terbuat dari kapuk, itu sudah cukup bagi tubuhnya yang kelelahan untuk mendapatkan sedikit kenyamanan. Saat itu, tubuhnya masih terasa kaku, terutama di bagian punggung. Sejak selesai shalat magrib tadi, ia terus mengeluhkan rasa pegal yang menjalar di sana.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Dengan mata yang baru saja terpejam, Banta membuka sedikit kelopak matanya.

"Tameng" panggil Banta, mempersilakan orang di luar masuk.

Pintu kamar itu berderit sedikit saat terbuka, menampilkan sosok ibunya yang mengenakan kebaya sederhana. "Kiban manteng kuweut?" tanya ibunya dengan nada lembut, menanyakan apakah Banta masih merasa pegal?.

Ibu Banta tahu bahwa seharian bekerja di sawah membuat anaknya sangat kelelahan. Bahkan saat pulang, meski tubuhnya tampak kuat, Banta masih terus mengeluhkan rasa pegal di punggung dan bahunya. Sang ibu berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang. "Bek lah istirahat, ngga usah paksa dirimu," lanjutnya, mengusap punggung Banta dengan lembut.

Banta hanya mengangguk kecil, matanya kembali menutup. Kelelahan dan rasa pegal yang menjalar seolah sedikit berkurang dengan sentuhan ibunya. Namun, dalam benaknya, ia tahu bahwa esok hari pekerjaan di sawah akan menantinya kembali. Tapi, untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati momen tenang dan perhatian dari ibunya yang tak pernah lelah merawatnya.

Ibu Banta masih duduk di tepi ranjang, tangannya dengan lembut mengusap punggung anaknya. "Kamu ini, Banta... sudah besar, tapi masih saja bekerja keras seolah tak kenal lelah," katanya sambil tersenyum kecil. "Jangan terlalu memaksakan diri, Nak."

Banta yang masih berbaring, menjawab dengan suara pelan, "Iya, Bu... kerja di sawah nggak bisa ditinggalkan."

Sang ibu mengangguk paham, walaupun hatinya sedikit khawatir. "Iya, ibu tahu. Tapi droekeuh bek teuwoe jaga kesehatan siet." nasehat ibunya suapa Banta jangan lupa menjaga kesehatannya.

Banta tertawa kecil. "Meunyo koen loen so laen yang bantu,buk?" ujar Banta jika bukan dirinya siapa lagi yang bantu

Ibu Banta tersenyum lembut, bangga pada semangat anaknya, meskipun masih terbersit sedikit khawatir. "Meunyo ka lagenyan droekeuh peugah boeh kiban teuman." sahut ibu banta kalau begitu kamu bilang mah gimana lagi.

Kisah kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang