||23|| Badai dari selatan

17 2 0
                                    



Halo Rakan Kolor,

KISAH KITA UDAH BISA DIBACA YA!

***

'Badai dari selatan mengajarkan kita bahwa kekuatan sejati bukan hanya tentang seberapa besar angin yang menerpa, tapi bagaimana kita tetap berdiri tegak setelahnya.'

***


"Serius, muak gue liat muka males lo," cibir Bianca sambil melipat kain di samping ranjang tempat Aqilla berbaring.

"Cih, gue juga muak liat elo," balas Aqilla dengan tajam, matanya menyipit penuh kebencian.

Bianca memutar bola matanya dengan dramatis, "Mau pulang gak lo?" ketusnya sambil mendekat, memeriksa bekas jarum infus di tangan Aqilla. "Gue sama Megan udah pesen tiket buat minggu depan. So, Quil, for the half-time, kita nginap di hotel. Kalau lo gak mendingan, ya udah di sini aja."

Aqilla melirik ponselnya, memerhatikan wajah di layar. "OMG, muka gue buluk banget," keluhnya sambil mengerang, setengah bercanda tapi jelas frustasi.

Bianca mendesah, "Yaelah, drama mulu lo. Lo kira kita peduli banget sama tampang lo? Sumpah, lo kayak mayat hidup!"

Aqilla menyeringai, "Bodo amat! Tapi kalau lo disuruh bedakan pake muka gue sekarang, gue yakin lo bakalan kabur sambil teriak-teriak."

Bianca tertawa sarkastis, "Oh please, gue udah sering liat horor lebih parah. Cuma ini mah level anak TK."

Aqilla menyipitkan matanya, menatap Bianca dengan tatapan menantang. "Serius lo, Bi? Kalau gue jelek begini horor anak TK, lo mungkin pas lagi marah tuh setara film slasher berdarah-darah," balasnya dengan nada santai tapi menusuk.

Bianca mendekat, melipat tangan di dada. "Lo bener-bener minta ditampar pake infus gak sih, Quil?" sindirnya, nada bercanda tapi jelas ada ancaman tersirat.

Aqilla terkekeh pelan, "Silakan aja, gue malah nungguin tuh! Paling lo yang kena malapetaka, gue gak bakal rugi."

Bianca menyipitkan mata, lalu duduk di kursi dekat ranjang, menghela napas panjang. "Sumpah, kadang gue heran kenapa kita bisa temenan."

"Mungkin karena kita sama-sama sarkastik dan gak takut ngomong kasar," Aqilla menyeringai. "Atau mungkin karena lo butuh orang kayak gue biar hidup lo gak ngebosenin."

Bianca tertawa kecil, "Bisa jadi. Tanpa lo, gue mungkin cuma bakal ngabisin waktu nonton drama Korea sama Megan, terus kita nangis-nangis sok deep."

Aqilla tertawa, meskipun lemah. "Ya, lo butuh gue buat bikin lo inget dunia gak selalu seserius itu. Terkadang, semua cuma soal bertahan hidup, kayak sekarang."

Bianca mengangguk setuju, "Gue tahu. Lo kuat kok, Quil. Jangan sampe muka lo buluk itu bikin lo lupa siapa lo sebenernya."

"Thanks, Bi. Tapi tetep aja, setelah ini gue butuh facial. Buruan bawa gue ke salon kalo udah sembuh," ucap Aqilla sambil memutar matanya, tapi jelas ada senyum kecil di wajahnya.

"Deal," jawab Bianca. "Tapi lo yang bayar!"

***

Aqilla menolak tanggung jawab itu dengan tegas, keputusannya sudah final, tanpa ada ruang untuk kompromi.

Banta hanya bisa mendesah lelah, rambut panjangnya yang acak-acakan ia guyur dengan air dingin dari dispenser di dekatnya, seolah berharap itu bisa mendinginkan kepalanya yang panas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang