Chapter 11

553 67 10
                                    

Krist memandangi indahnya pantai Jimbaran yang terbentang luas. Sebelum malam menyapa, Singto mengajaknya menunggu sunset di sini. Krist teringat kejadian di kantor Singto. Seharusnya dia tidak cerita apa-apa, tapi apa daya. Nasi sudah menjadi bubur. Anehnya setelah dia cerita, Krist merasa lebih baik.

"Pantainya indah ya."

Singto membuka obrolan setelah diam cukup lama.

"Iya, Opa."

Hanya itu yang keluar dari mulut Krist. Singto melirik Krist yang tengah memandangi pantai. Sifat ceria dan cerewetnya tidak lagi kelihatan seperti biasanya setelah menangis di kantornya.

"Kamu lebih suka sunset atau sunrise?" tanya Singto.

"Aku lebih suka stargazing," jawab Krist singkat.

"Berarti kita beda ya. Saya suka lihat sunset. Warnanya cantik."

"Iya," respons Krist singkat dan padat.

Kemudian suasana hening. Hanya suara orang-orang yang memenuhi telinga mereka. Selama beberapa menit mereka berdua diam memandangi indahnya pantai yang dipenuhi beberapa orang.

"Mantan istri saya nggak suka lihat sunset. Jadi kalo saya mau mandangin indahnya sunset lebih banyak sendirian atau ngajak Ployphach," ucap Singto tiba-tiba. Kali ini Krist menoleh ke samping. Hanya sebentar sebelum dia kembali memandangi pantai.

"Kenapa Opa cerai dari Jannine?" tanyanya.

"Kamu percaya kalo saya pernah susah?"

"Nggak."

Singto tertawa kecil selama beberapa saat sebelum akhirnya dia menjawab, "Saya serius. Saya pernah susah sampai buat makan aja nggak ada dan harus minjam uang sama kakak saya."

Krist menoleh lagi.

"Seriusan? Bukan acara tipu-tipu biar aku penasaran, kan?"

Singto melihat Krist yang juga sedang melihatnya sekarang.

"Saya serius. Buat apa bohongin kamu. Ini cerita beneran. Kamu bisa tanya sama ayahnya Harit. Ayahnya Harit itu kakak saya. Dia yang kasih uang."

"Ah, masa sih? Kok Opa bisa punya helikopter dan jet pribadi? Gimana bisa punya banyak uang lagi?"

Krist sudah tidak tertarik menunggu sunset. Dia lebih tertarik mendengar cerita singto.

"Kamu mau denger ceritanya?"

"Mau lah. Ceritain, Opa. Aku penasaran."

Krist memiringkan posisi duduknya hingga menghadap Singto.

"Jangan pakai jeda-jeda. Kepengen tau."

"Senyum dulu baru saya cerita," pinta Singto.

"Ih... nggak bisa. Cerita dulu. Cepetan, Opa," desak Krist tidak sabar.

Singto terkekeh melihat wajah tidak sabar Krist. Akhirnya dia bisa melihat ekspresi Krist yang lain meskipun bukan senyumnya. Setidaknya suasana tidak sesunyi sebelumnya.

"Opa! Cepetan!"

Krist menarik-narik ujung lengan kemeja Singto.

"Sebentar. Saya mau menikmati wajah penasaran kamu dulu."

Singto senyam-senyum sendiri, berhasil membuat Krist malu sendiri. Sejurus kemudian dia bersuara lagi.

"Waktu itu saya pernah jatuh susah karena ditipu. Jadi ada teman saya ngajak investasi. Karena saya tergiur dengan hasil yang dihasilkan jadinya saya bersedia. Dulu karena saya nggak berpikir panjang dan percaya aja sama orang, saya setuju-setuju aja. Pada saat itu saya udah punya anak tiga karena nikah muda. Saya pikir akan lebih baik kalo saya ikut investasi itu."

Tales of Destiny [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang