Chapter 26

436 61 4
                                    

Malam-malam Krist mampir ke kamar samping, yang mana ditinggali oleh sepupunya. Mereka memang menyewa satu kamar layaknya kos-kos-an di rumah bertingkat empat. Namun, bukan sepenuhnya menyewa seluruh rumah. Hanya sebatas kamarnya saja. Lagi pula rumah ini tidak ada ruang tamu yang nyaman dan langsung pintu masuk sekaligus beberapa loker khusus penyewa.

Krist menggedor pintu kamar Gun berulang kali sampai akhirnya dibuka. Tanpa permisi, seperti kebiasaannya, dia menerobos masuk dan duduk di sofa. Meskipun belum dipersilakan, Krist menganggap kamar Gun adalah rumahnya sendiri.

"Gun, lo tau nggak sih emak gue adalah orang paling nyebelin seantero Bumi? Dia tuh ngeselin banget," mulai Krist.

"Lho? Ada apa? Setahuku tante orang paling bebas dan terbuka," tanya Gun dengan kening yang berkerut.

"Lo tau nggak, sih, dia tuh bilang nggak akan nganggap gue anaknya kalo masih berhubungan sama Singto." Krist memukul-mukul bangku sofa dengan gemas.

Sebelum disela Gun, dia melanjutkan, "Gue lupa belum cerita apa-apa. Jadi gue sama Singto udah kencan dua kali. Pas gue sama dia lagi ciuman, ada nyokap muncul. Di situ nyokap gue marah besar dan bilang nggak akan merestui. Dia bilang gue boleh sama siapa pun asal bukan Singto. Soalnya Singto itu kakek tiri gue. Terus kenapa kalo dia kakek tiri gue? Kita nggak ada hubungan darah. Lain cerita gue punya hubungan darah sama Singto. Iya, kan?"

Bukannya menjawab, Gun malah tertawa dengan tangan yang menutupi mulutnya. "Maaf, gak nyangka saja kalau Pak Singto tiba-tiba jadi kakekmu."

Setelahnya Gun tampak berpikir panjang kemudian menjawab dengan pelan, "Sebenarnya, pembelaanmu yang paling masuk akal itu karena kamu dari awal belum kenal Pak Singto sebagai papa mertua tante."

"Gue udah bilang kayak gitu. Gue kenal sama Singto dari sebelum tau kalo dia bapaknya Papa Toy. Tapi nyokap gue tetap nggak mau ngerti. Gimana, dong? Mana..."

Krist menggantung kalimatnya. Merasa ragu ingin mengutarakan perasaannya sendiri. Dia menaikkan kedua kaki ke atas sofa dan menggerak-gerakkan dengan kesal.

"Sebel banget! Nyokap gue bilang dia orangnya menerima apa pun, tapi mana buktinya? Dia malah nolak. Menurut lo, gue harus apa?"

Gun mendapati keraguan dalam kalimat Krist, sepertinya ada yang ingin dia sampaikan. "Mana...? Kenapa?"

"Mana.. hm." Krist berdeham berulang kali. Ragu untuk mengatakan sesuatu. Setelah cukup pertimbangan, dia mengaku juga.

"Gue mulai sadar soal perasaan untuk Singto. Gue tertarik sama dia. Gue pikir semua ini cuma sebatas tertarik karena ons semata dan ya, udah... gitu aja. Tapi gue salah. Perasaan gue lebih dari itu."

"Kamu," Gun mengamati tingkah laku Krist yang tidak tampak seperti Krist yang dia kenal biasanya. Sepupunya ini kali ini terlihat berhati-hati dan penuh keraguan. Sepertinya Krist benar-benar menyukai Singto sampai mencoba menyelesaikan masalah yang serumit ini. Jika ini adalah Krist yang dulu dia kenal sebelum dekat dengan Singto, Krist pasti sudah memilih untuk tidak peduli dan pergi.

"Kamu benar-benar suka dengan Pak Singto?"

Sebelum Krist menjawab pertanyaan Gun, sepupunya sudah kembali berbicara, "Menurutku... hidup hanya satu kali, lakukan apa pun yang membuatmu bahagia jika kamu memang mau dan mampu berjuang untuknya."

"Mungkin? I don't know. Gue masih ragu-ragu. Tapi gue nyaman sama dia. He can be anything for me. Setelah banyaknya cobaan di hidup gue, dia kelihatan bisa diandalkan." Krist menjawab ragu. Dia tidak sepenuhnya yakin dengan jawabannya ini.

"Gue berjuang kayak gimana, Gun? Nyokap gue udah ngancem kayak gitu. Usaha apa yang bisa ngeluluhin dia?"

"It is nice to find someone whom we can rely on." Gun tersenyum, tapi terlihat ketir.

Tales of Destiny [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang