Chapter 3

736 72 9
                                    

Silau matahari memaksa Singto bangun dari tidur nyenyaknya. Sebelum membuka mata, dia merasakan ada yang kosong di sampingnya. Hal ini memaksa Singto membuka matanya lebih cepat. Tidak ada Krist di sampingnya. Namun, dia melihat kertas yang diletakkan di atas nakas. Singto mengambil kertas tersebut dan membaca tulisannya.

I have a good time last night. Thank you for the appetizers. You're so delicious. I'm leaving now. Happy New Year!

-Krist Perawat-

Singto menarik senyum membaca tulisan itu. Bayangan akan kegiatan intim mereka semalam muncul begitu saja. Singto ingat betapa dahsyatnya seks mereka. Dan semalam adalah pertama kalinya dia bercinta setelah bertahun-tahun betah menahan diri dari godaan di luar sana. Krist menjadi satu-satunya yang berhasil meruntuhkan seluruh pertahanannya.

"He's so cute," gumamnya pelan sembari mengusap wajahnya. Selagi membayangkan betapa luar biasanya gerakan Krist saat berada di bawahnya, bayangannya dibuyarkan oleh ponselnya yang berdering kencang. Singto terpaksa mengusir momen liar itu dan mengangkat panggilan.

"Halo?"

"Pa, hari ini pulang ke Bangkok, kan?" tanya Toy, putranya di seberang sana.

"Iya, Papa pulang sore. Kenapa?"

"Ya, nggak apa-apa. Aku takut Papa lupa. Jangan sampai melewatkan acara makan malam sama keluarga Mook. Biar Papa kenal sama anak-anaknya. Calon cucu tiri Papa."

Singto tertawa geli mendengar sebutan 'cucu tiri'. Rasanya ada yang aneh. Walau sebenarnya tidak aneh mengingat calon istri anaknya berumur lebih tua satu tahun darinya. Anak pertamanya itu jatuh cinta dengan wanita yang sudah memiliki lima anak. Singto setuju-setuju saja. Lagi pula yang menjalani pernikahan adalah anaknya, dia hanya merestui dan mendoakan supaya kehidupan baik-baik saja.

"Iya, iya, Papa pulang sore ini kok. Biar Papa kenalan sama semua anak tiri kamu. Kamu aneh juga. Baru kenalin pas mau deket nikah. Papa takut lupa kalo kenalan singkat."

"Papa tau sendiri, semua anaknya Mook sibuk. Mereka, kan, menetap di luar negeri. Jadinya baru sempat kenalin sekarang."

"Iya, Papa paham kok."

"Ya udah, aku tunggu Papa. Kalo bisa titip cokelat atau oleh-oleh apa gitu biar aku bisa kasih buat Mook," kata Toy setengah terkekeh.

"Kirain niat nanyain kapan pulang, ternyata ada embel-embelnya," ledek Singto. Putranya tertawa kecil di seberang sana.

"Nanti Papa belikan sesuatu untuk calon menantu. Papa tutup telepon ya. Mau mandi."

"Oke. See you soon, Pa. Safe flight."

Setelah sambungan dimatikan, Singto mengusap wajahnya. Dia harus mencari tahu tentang Krist Perawat. Dia tertarik. Mungkin sebelum pulang dia akan mampir lebih dahulu ke restoran kemarin. Singto turun dari tempat tidur. Saat kaki sudah menyentuh lantai, pandangannya turun melihat lantainya. Di sana ada gelang yang tergeletak dengan bandulan huruf K dan P. Tidak perlu bertanya-tanya, dia langsung tahu bahwa ini adalah gelangnya Krist. Dia meletakkan gelang tersebut di atas nakas sambil tersenyum Singto berharap bisa bertemu lagi dengan Krist nanti.

.

.

Bangkok, Thailand. Sekarang.

Krist tak berkedip memandangi Singto. Dia berharap kejadian di malam tahun baru hanyalah mimpi.
Ya, Tuhan.. bisa-bisanya dia tidur dengan mertua ibunya!
Andai dia memiliki waktu luang lebih banyak, dia akan menemui ayah tirinya dan keluarganya sehingga tidak perlu ada drama gila semacam ini. Kalau saja dia sudah tahu siapa Singto, tentu dia takkan menggoda pria itu!

Tales of Destiny [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang