Chapter 23

423 67 25
                                    

Krist tidak sempat menyeka air mata karena Singto sudah melakukannya lebih dulu. Krist yakin ibunya sering khawatir bukan karena dia anak bungsu, tapi karena ibunya takut dia menemukan laki-laki yang sama dengan mantan-mantannya yang sialan itu. Dua kali Krist berpacaran, maka dua kali pula dia terluka sehebat itu. Sisanya hanya sebatas teman tidur. Itulah kenapa Krist tidak mau berkomitmen dan sebatas senang-senang. Krist takut hidupnya akan lebih buruk.

"I know you're a good man. But, i don't know. Dua mantanku kelihatan baik di depan, tapi lama-lama menyakitkan. Kita nggak tau sifat asli seseorang, kan? Kita nggak tau hati seseorang yang sebenarnya." Suara Krist bergetar.

Dadanya sesak setiap kali mengingat kejadian-kejadian buruk yang menimpa hidupnya. Kemudian, "Mantanku nggak cuma melakukan hal itu, tapi dia pernah mukulin dan cekik aku sampai mau mati rasanya. Laki-laki yang pernah kamu lihat di kedai kopi bareng aku, itu namanya Nammon. Dia pengacaraku di sini. Dia bantuin aku habis-habisan sampai berhasil jeblosin mantanku ke penjara. Biarpun udah di penjara, tapi rasanya susah buat nggak ingat kejadian-kejadian gila itu."

Singto mulai mengerti benang merah yang selama ini dicari karena Mook selalu mengkhawatirkan Krist secara terus-menerus. Rupanya terletak dari salah memilih pasangan. Pantas Mook selalu mengkhawatirkan Krist tiap hari dan menceritakan kekhawatirannya pada Toy meskipun tidak menjelaskan secara gamblang. Singto kesal dan marah mendengar cerita Krist. Kalau saja mereka bertemu lebih awal, mungkin dia bisa mencegah hal-hal seperti itu.

"Pada saat itu, aku berharap mati aja dari pada diperlakukan kayak gitu," lanjut Krist.

Air mata kembali terbendung sempurna. Kalau dia berkedip sekali saja, air mata akan kembali menyapa pipinya.

"Krist," Singto menggenggam tangan Krist lebih erat.

"Kamu nggak akan diperlakukan seperti itu lagi. Nggak ada orang yang boleh memperlakukan kamu seperti itu. Dalam kamus saya, nggak ada yang namanya kasar sama pasangan."

"Mungkin aku nggak ditakdirkan dapat kebahagiaan. Niatnya kabur ke sini supaya hidup lebih baik, ternyata ketemu dua laki-laki yang..."

Krist menaikkan dagunya sedikit, menatap langit di atas sana supaya air mata tidak jatuh lagi. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan di depan Singto. Singto mengusap pundak Krist dengan pelan.

"Semua udah berlalu. Kamu berhak dapat kebahagiaan sekarang. Izinkan saya membahagiakan kamu."

Krist diam selama beberapa menit. Kedua sudut bibirnya tertarik hingga senyum tipis menghiasi wajah. Tanpa memberi jawaban apa-apa, Krist bangun dari tempat duduknya. Krist sengaja tidak mau menanggapi karena takut harapan setinggi langit berubah menjadi reruntuhan yang menyakitkan.

"Let's go! Kita lanjut jalan lagi," ajak Krist.

Singto tahu Krist butuh waktu. Mendengar cerita Krist seperti itu, dia tidak mau mendesak ataupun memaksa. Singto perlu meluluhkan Krist pelan-pelan dan dengan sabar. Karena dia tahu trauma tidak akan pergi dengan mudah.

"Mau kelilingin taman?" tanya Singto.

"Iya, sekali aja. Setelah itu mau brunch," jawab Krist.

Sebelum Singto bangun, Krist sudah mengulurkan tangannya. Singto menyambutnya, membiarkan tangannya digenggam oleh Krist.

"Makasih balonnya, Om," ucap Krist dengan suara dibuat sok imut layaknya anak kecil.

Singto senang sekaligus sedih. Di balik senyum dan keras kepala itu, ada luka yang belum sembuh dan ada trauma yang terus menghantui. Dadanya ikut sakit mendengar cerita Krist. Bahkan sekarang melihat Krist senyum, seolah menutupi lukanya, dia ikut terluka.

Tales of Destiny [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang