Chapter 10

634 73 4
                                    

Sinar matahari memenuhi ruang kamar melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Ada suara erangan dan desahan yang menggema. Suara tersebut berasal dari kamar Singto. Decitan tempat tidur ikut terdengar seiring kegiatan panas yang semakin liar. Semalam Krist tidur di kamar Singto karena takut mendengar suara petir yang bersahut-sahutan. Kamar yang ditempati Krist terlalu besar sampai-sampai pikirannya melayang jauh membayangkan hantu. Akhirnya pindah ke kamar Singto menjadi jawaban.

Kegilaan lain pun dimulai setelah Krist pindah kamar. Obrolan yang awalnya hanya sebatas santai dan ringan berubah menjadi kegiatan panas penuh gelora dan hasrat yang menggebu-gebu. Semalam Krist bercinta dengan Singto. Berulang kali sampai tubuhnya terasa hampir remuk karena mencoba beragam gaya. Dan pagi ini mereka berdua melakukannya lagi. Mengerang dan mendesah bersama sambil memanggil parau partner bercinta mereka. Kegiatan panas mereka pagi ini rasanya tak cukup hanya sebatas bermain di atas tempat tidur. Mereka berpindah tempat ke kamar mandi dan melanjutkannya di sana sebelum akhirnya membersihkan diri berdua.

Setelah selesai mandi Krist keluar dari kamar lebih dahulu dan turun menuju ruang makan. Hole dan bagian pangkal pahanya terasa sakit karena bercinta berulang kali dengan kasar. Sungguh, Krist merasa sudah gila karena membiarkan Singto menggagahinya berulang kali.

"Gue kecanduan seks apa gimana sih? Perasaan sama yang lain nggak begini."

Krist bermonolog sendiri sambil mengacak rambutnya frustrasi. Iya, dia tidak pernah mengulang kegiatan panas yang sama dengan orang yang sama. Jika sudah bercinta dengan A, dia akan bercinta dengan B di lain hari. Bercinta dengan orang yang sama hanya dilakukan Krist kalau mereka berkencan.

"Ya, Tuhan.. gue harus apa kalau ibu gue tau?"

Lagi, dia bermonolog sendiri tanpa henti. Krist tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir dan was-was kalau sampai ibunya tahu dia bercinta dengan Singto. Sudah begitu mereka bukan hanya sekali melakukannya, tapi sudah berulang kali.

"Good morning," sapa Singto sembari mengusap kepala Krist.

Krist terlonjak kaget karena sejak tadi sedang melamun.

"E-eh, iya. Pagi, Opa."

"Kamu lagi melamun ya? Mikirin apa?" tanya Singto.

"Bukan apa-apa." Krist memaksakan senyum.

"Hari ini Opa pergi ke kantor lagi?"

"Iya. Kamu mau ikut? Jangan nunggu di kedai kopi. Kamu bisa nunggu di ruangan saya," tanya Singto.

"Nggak usah. Saya nunggu di sini aja," tolak Krist.

"Kamu yakin nggak bosan nunggu di sini? Atau, mau keliling Bali? Saya suruh sopir antar kamu setelah drop saya di kantor."

Krist menimbang-nimbang sebentar. Menit berikutnya dia mengangguk setuju. Tiba-tiba Singto mendorong kartu yang diambil dari dompetnya. Krist mengamati kartu tersebut.

"Kamu belanja pakai kartu ini aja. Beli apa pun bebas," jelas Singto.

"Mau beli puluhan sepatu mahal boleh?"

"Boleh. Kenapa nggak boleh?"

"Emangnya nggak ada limitnya?"

"Nggak. Jadi mau kamu gunakan berapapun nggak masalah."

"Berasa jadi sugar baby dibiayain segala," gumamnya pelan.

Singto mendengar samar-samar Krist menyebutkan 'sugar baby'. Dia menahan tawa.

"Kamu bukan sugar baby, tapi calon istri saya."

Krist terbatuk-batuk saat meneguk jus jeruk. Dia menyeka dagunya yang basah akibat tersedak saat minum.

Tales of Destiny [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang