Chapter 28

509 65 14
                                    

Selesai pulang kerja Krist meminta alamat Toy dan Mook tinggal. Dia mendatangi salah satu rumah mewah milik Singto, yang mana menjadi tempat tinggal ibunya saat ini. Krist ingin memperjelas semuanya. Atas seizin Toy, dia ditinggalkan berdua dengan sang ibu. Berdiri bersampingan di halaman belakang rumah. Toy pergi keluar, sengaja agar dia bisa bicara empat mata dengan ibunya.

"Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Mook.

Krist diam memformulasikan kata-kata apa yang tepat untuk memulai pembahasan. Ibunya tidak kelihatan semarah tempo hari, tapi tidak tampak bersahabat juga.

"Bahas soal Singto?" tembak Mook.

"Iya." Krist mulai berani menyuarakan isi hatinya. Sebelum disela, Krist ingin lebih dulu menjelaskan semuanya.

"Aku kenal Opa Singto dari Gun. Dia salah satu bosnya Gun. Kami bertemu di salah satu restoran, mengobrol, dan berakhir menghabiskan satu malam indah. Mama paham maksudku. Aku nggak pernah tau dia ayahnya Papa Toy. Baru tau pun setelah ketemu di Bangkok. Aku kaget, tapi berusaha nutupin biar Mama nggak marahin aku udah seenaknya menghabiskan waktu sama kakek tiri. Aku setakut itu Mama tau. Tapi akhirnya bangkai nggak mungkin bisa disembunyikan terus."

Mook mendengarkan secara saksama. Dia bukan tidak setuju. Kalau saja Krist berkencan saat dirinya belum menikah dengan Toy, dia tidak masalah. Justru dia senang. Namun, statusnya dengan Toy, membuat hubungan putra bungsunya dan Singto akan lebih aneh. Dia takut putra bungsunya menjadi perbincangan orang-orang karena status mereka itu.

"Aku nggak pernah sebahagia ini dalam hidupku. Singto bisa menjadi pendengar baik. Dia bisa jadi apa pun untuk aku. Bahkan dia bisa mengisi sosok ayah yang nggak pernah baik sama aku. Dia sosok yang tulus mencintai aku. Seumur hidup, aku nggak pernah merasa sebebas ini. Waktu pacaran serius sama dua orang yang nyakitin aku, mereka selalu bikin aku tunduk dan harus mengikuti arahan mereka. Mereka nggak pernah mikirin perasaan atau pendapat aku dan selalu egois supaya aku mau menjadi boneka mereka. Tapi nggak dengan Singto. Dia bersedia mendengarkan dan mengikuti kemauan aku. Dia nggak seegois yang lain," lanjut Krist.

"Kenapa nggak lupain dia?" Mook mulai buka suara.

Krist menoleh. "Apa yang bikin Mama nggak setuju aku sama dia?"

Mook ikut menoleh, menatap putranya yang memasang wajah serius. "Karena dia kakek kamu."

"Tapi bukan kakek kandung. Kalo dia kakek kandung, Mama bisa larang dan ngatain aku gila. Aku sama Singto sama sekali nggak ada hubungan darah. Kita sama-sama orang asing yang kebetulan dipersatukan status hubungannya lewat Mama dan Papa Toy." Krist menegaskan tiap kalimat dengan penuh penekanan.

"Mama nggak setuju karena kalian ada hubungan keluarga secara nggak langsung. Dia kakek kamu. Meskipun bukan kandung, tapi apa kata orang kalo kamu pacaran atau nikah sama dia? Kalo kalian nggak ada keterkaitan status keluarga, Mama setuju aja. Tapi masalahnya, dia kakek tiri kamu. Terserah kamu bilang Mama egois atau apa pun. Mama cuma nggak mau orang-orang bicarain hal jelek tentang kamu. Mama nggak mau kamu dikira genit sampai godain kakek tiri sendiri, terlepas apa pun yang udah kamu lakukan waktu itu sama dia," terang Mook.

Krist mengerti sekarang. Dia bisa memahami perasaan ibunya. Belum sempat dia menjawab, ibunya menitikkan air mata.

"Ma...," Krist tertegun.

"Kamu udah banyak terluka di masa lalu. Mama nggak mau kamu semakin terluka dengan omongan atau persepsi orang-orang tentang kamu. Mama nggak mau kamu menderita seandainya mendengar hal yang nggak baik. Kamu selalu dengar hal yang nggak enak. Mama merasa bersalah tiap kamu terluka. Mama mikirin kamu sepanjang malam. Apa kamu makan yang cukup, apa kamu ketemu orang-orang yang baik, apa kamu bahagia, dan banyak hal. Mama nggak pernah mikirin anak yang lain, padahal Mama tau Kay sendiri terluka setelah cerai. Tapi Mama selalu kepikiran kamu. Mama tau anak bungsu Mama yang perlu diperhatikan."

Tales of Destiny [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang