Chapter 32

502 63 6
                                    

Setelah perbincangan panjang di taman, Krist pulang ke rumah. Singto sedang menginap di tempatnya beberapa hari belakang. Jadi, orang pertama yang Krist lihat adalah Singto.

"Kamu mau bicara apa? Katanya selesai mandi mau bicara," tanya Singto.

Krist menaiki tempat tidurnya, duduk berhadapan dengan Singto.

"Mau bicara serius, ya?" Singto kembali bertanya, penasaran.

"Seandainya aku nggak bersedia menikah gimana?"

"Kamu masih mau bahas ini? Saya, kan, pernah bilang sama kamu sebelumnya. Menikah atau nggak, saya nggak masalah. Lagi pula apa dengan menikah bisa membuat kamu menemukan kebahagiaan? Apa dengan nggak menikah kamu menderita? Semua itu cuma pilihan. Kalo kamu memutuskan nggak menikah, saya nggak masalah. Saya menghargai apa pun keputusan kamu." Singto menjawab dengan nada pelan, tapi tetap menyiratkan keseriusannya.

"Kalo kita menjalani hubungan ini cukup lama terus nggak ada kejelasan apa-apa, apa nggak masalah? Apa kamu masih bersedia menjalin sesuatu yang belum jelas? Rasanya bego aja gitu. Banyak orang di luar sana dan kamu bersedia meluangkan waktu untuk sesuatu yang nggak pernah menemukan titik terakhirnya."

Singto menggamit kedua tangan Krist, menggenggam dan beberapa kali mengusap punggung tangannya.

"Krist, dengarkan saya. Ini nggak cuma sekali atau dua kali saya bicara ini. Saya nggak akan pernah bosan bilang seperti ini sama kamu. Saya nggak masalah kalo hubungan ini hanya sebatas kencan atau pacaran aja. Saya menghargai setiap keputusan kamu dan saya nggak masalah dengan itu. Saya mencintai kamu dan menerima setiap hal dalam diri kamu, termasuk semua keputusan-keputusan yang kamu buat. Dan tentunya saya nggak masalah dengan semua keputusan kamu."

"Nggak takut dibilang bego karena udah wasting time?"

"Saya bilang tadi, semua itu pilihan. Saya memilih ini dan saya tau apa yang saya lakukan. Saya nggak peduli dibilang buang-buang waktu. Toh, saya yang menjalani. Selama saya bahagia-bahagia aja, kenapa saya harus memusingkan kata orang? Saya nggak mau pusing sama omongan orang. Lebih baik saya memperbanyak momen bersama kamu."

Krist menghela napas. "Apa kamu benar-benar bahagia seperti ini?"

"Kamu takut saya nggak bahagia?"

Krist mengangguk. Sambil tetap membiarkan Singto mengusap-usap punggung tangannya, dia menjawab, "Jannine bilang kamu bukan tipe yang suka dengan hubungan tanpa kejelasan. Mungkin aja dengan nggak adanya kejelasan ini, kamu nggak bahagia."

"Karena ucapan Jannine kamu mempertanyakan semua ini?" Singto bertanya, menatap Krist lebih serius.

Setelah Krist mengangguk, dia menambahkan, "Apa yang Jannine katakan nggak sepenuhnya benar. Dulu saya begitu, tapi sekarang saya berbeda. Saya lebih menghargai apa yang ada sekarang. Saya ingin menghabiskan waktu saya setiap harinya sama kamu dan itu udah cukup."

Krist menghela napas lagi. Singto menangkap masih ada keraguan yang mengganjal di hati pacarnya itu. Singto menambahkan, "Kalo menurut kamu ini bullshit, ini sama sekali nggak bullshit. Saya akan membuktikan kalo setiap ucapan yang keluar dari mulut saya dapat dipercaya."

"Nggak ada yang bilang bullshit kok. Tapi masih nggak percaya aja dapat jackpot. Apa yang kurang ya dari seorang Singto?"

"Ada banyak. Kamu nggak tau aja."

"Oh, ya? Apa salah satunya?"

"Ada, kamu cari tau sendiri."

"Itu namanya nggak ada kurangnya," dengkus Krist.

"Intinya ada. Saya mencintai kamu dengan tulus dan nggak akan berhenti mencintai cuma karena kamu nggak mau menikah. Saya menerima kamu dan segala hal dalam diri kamu. Kita bisa menjalani ini bersama-sama dan berhenti mempertanyakan soal kebahagiaan. Karena saya bahagia bersama kamu dan ini fakta. Saya tau perasaan saya, bukan pura-pura bahagia. Berhenti mengkhawatirkan saya. Saya memutuskan hal ini dan saya bersedia menerimanya."

Tales of Destiny [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang