51. Egois

218 33 0
                                    

Bumi mengerutkan dahinya bingung lantaran penasaran dengan mobil Lamborghini yang terparkir di garasi rumahnya. Berniat ingin tau, laki-laki itu pergi mencari Bi Ina untuk menanyakan mobil tersebut. "Bi, di garas mobil siapa?"

"Mobilnya Pak Dion, Den."

Bumi mengangguk. "Orang gila itu udah pulang?"

"Bumi kok ngomongnya gitu?" Bulan langsung melempar tatapan tidak suka ke arah Bumi.

"Kenapa, Moon?" balas Bumi santai.

Belum sempat Bulan kembali menjawab, terdengar suara menggelar yang berasal dari atas meneriaki nama Bumi. Mereka yang berada di bawah sigap menoleh ke sumber suara dan mendapati Pak Dion tengah berjalan ke arah mereka dengan kedua mata yang sudah melotot.

Bumi memutar bola matanya malas saat melihat kehadiran Dion. "Baru aja diomongin."

Bi Ina yang merasa tidak berhak ikut campur dalam masalah ini segera melenggangkan kakinya pergi menuju dapur.

"Keterlaluan kamu Bumi! Papa bebasin pergaulan kamu, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya! Belum menikah tapi sudah tinggal satu rumah dengan Bulan. Mau jadi apa kamu?!" Wajah Dion terlihat merah padam. Laki-laki itu terlihat marah besar.

Bumi memandang remeh ke arah Dion. "Lebih keterlaluan saya atau anda? Belum menikah tapi sudah melakukan hubungan intim dengan wanita lain."

"Tidak usah membawa masalah ini, Bumi! Tidak sopan sekali kamu!"

"Untuk apa saya sopan dengan orang bajingan seperti anda?"

"Anak kurang ajar!" Dion melayangkan satu pukulan tepat dipipi Bumi. "Kerjaannya cuma bisa malu-maluin!"

Bulan yang melihat kejadian tersebut membulatkan matanya sempurna. Gadis itu ingin sekali melerai, namun dirinya juga harus tau batasan, bukan waktu yang tepat bagi dia untuk ikut campur.

Bumi memegang pipinya yang terasa nyeri dengan kedua mata yang menatap benci ke arah Dion. "Malu-maluin?" ucap Bumi kemudian menaikkan salah satu alis. "Justru saya yang malu punya ayah seperti anda! Punya anak dari wanita lain."

"Sudah saya bilang tidak usah membahas hal ini di depan orang lain. Apa kamu sama sekali tidak malu saat menjelekkan ayah sendiri di depan orang lain?"

"Bulan bukan orang lain untuk saya. Dan justru andalah orang lain bagi saya. Ayah saya sudah meninggal sejak saya berumur tujuh tahun."

"Bumi, gak sopan. Minta maaf sama Om Dion." Bulan yang merasa Bumi sudah keterlaluan akhirnya menasehati.

"Kamu diem, Moon. Ini urusan aku sama orang gila ini. Kamu gak usah ikut campur."

"Tapi Bumi harus minta maaf sama Om Dion. Mau bagaimana pun Om Dion tetap papa Bumi."

"Aku bilang gak usah ikut campur."

"Moon harus ikut campur, Bumi. Minta maaf sama Om Dion sekarang."

"Diam!" Bumi mulai menatap datar ke arah Bulan. Dirinya dibuat kesal dengan sifat Bulan yang sangat memaksa kehendak.

"Moon gak akan diem sebelum--"

Belum sempat Bulan melanjutkan kalimatnya, emosi Bumi sudah lebih dulu memuncak. Merasa kesal dengan sikap keras kepala Bulan, Bumi kelepasan membentakkan kekasihnya. "Gue bilang diem! Lo cuma orang luar! Gak usah ikut campur urusan gue!"

"Moon cuma orang luar, ya?" Bulan menatap sedih ke arah Bumi. "Maaf, harusnya orang luar ini gak usah ikut campur."

Bumi mendenguskan napasnya kesal. Ia menjadi merasa bersalah pada Bulan karena telah membentak kekasihnya itu. Merasa frutrasi dengan keadaan sekitar, Bumi memilih untuk segera pergi dari sini.

Bulan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang