Bagian 19

94 5 4
                                    

Kau dapat memilih kekasihmu sesuka hati, dapat memilih siapa yang akan kau sebut atau kau panggil dengan sebutan kekasih itu sendiri...
Akan tetapi, kau tidak dapat memilih dengan siapa kau akan jatuh cinta.
Itu bisa berarti hadiah dari Tuhan untukmu..
Atau bahkan bisa jadi itu ujian dari Tuhan untukmu, Ujian atas kesetiaanmu kepada - Nya
Hidup itu pilihan, dan setiap Manusia berhak menentukan pilihannya masing-masing.
Kita tak seharusnya mencela dia, karena bisa jadi bila di posisi dia kita akan mengambil pilihan yang sama
Atau bahkan Lebih buruk dari itu...

***

Aku terbangun mendengar suara Safa yang sepertinya berbicara dengan seseorang, tapi siapa ?. Aku membuka mataku perlahan ternyata Safa sedang menerima telepon. Belakangan ku ketahui itu telepon dari Dayu. Melihatku sudah bangun Safa mengakhiri telepon dan mengajakku untuk makan Roti yang di belinya tadi. Aku bermanja-manja dan memintanya menyuapiku. Saat akan membuka mulut lagi handphoneku berbunyi, ku intip yang menelepon sebelum ku angkat, dari Nomer Ryan.

"Dee, Dije De ?" Tanya orang di seberang sana. (Dee, Dimana De ?)

"Rage nu di Gunung Sari ne, engken ?" Ternyata yang menelepon adalah Iwan. (Aku masih di Gunng Sari ni, Kenapa ?)

"Ke ngude ditu ? timpal rage ningalin kee tuni jak nak len 2 kee ngude ?" Tanya Iwan. (Kamu ngapain disitu ?)

" Sing ade." (Gak ada)

"Jujur."

"Nah, nyan be di jumah orahin ne." (Yaudah ntar di rumah Aku kasi tau)

"Nah be" (Yasudah)

"Engken surat Rage to ?" (Gimana surat Aku tu ?)

"Be, surat kee jak surat ne Safa, be di kelas. Ape Buin ?" (Udah, suratmu sama suranya Safa, sudah di kelas. Apalagi ?)

"Sing Ade, Makasi ya Mas Bro, Swastiastu" Ucapku terkekeh lalu mematikan telepon. (Gak Ada)

Setelah menerima telepon aku berbalik menghadap Safa yang kedua matanya memandang ke arahku namun pandangannya kosong. Entah apa yng dia fikirkan. Perlahan aku menggapai kedua tangan Safa, kuangkat perlahan dan ku cium. Dia sama sekali tak menyadarinya sampai aku memanggil namanya beberapa kali. Apakah yang mengganggu fikiran bidadariku ini, dia tidak mau berkata jujur. Semua fikiran negative itu aku singkirkan dan berusaha menyegarkan suasana, aku mengajak Safa berfoto. Aku amat gembira melihat senyumnya terus mengembang, entah seperti apa rasa di hatiku saat ini hingga tidak dapat aku lukiskan.

Kami meninggalkan bukit saat matahari mulai merendah di ufuk barat, tadinya aku berniat untuk diam di sana menunggu matahari terbenam karena pasti akan sangat indah. Namun, itu sangat berbahaya karena pasti akan sangat gelap dengan penerangan hanya lampu depan motor dan jalan yang terjal. Belum lagi batu besar dan lubang dimana-mana. Akhirnya aku memutuskan pulang lebih awal, lagipula juga agar calon ibu mertua tidak pusing mengkhawatirkan bidadarinya hehe.

Aku mengantarkan Safa sampai di tempat aku menjemputnya tadi pagi. Namun, dia tidak mau meninggalkan tempat itu sebelum Aku pulang. Safa, apa sebenarnya yang kamu fikirkan dari tadi, apa yang ada di benakmu. Akhirnya aku mengalah, aku meninggalkan tempat itu terlebih dahulu dan langsung pulang ke rumah. Ibu terkejut melihat wajahku yang lebam dan ada beberapa luka kecil di pipi sebelah kiriku.

"Kamu kenapa Sayang, ibu tau kamu bukan brandalan yang suka mencari masalah. Kamu kenapa ?" Tanya Ibu panik.

"Dede baik-baik aja, Meq," Jawabku menenangkan Beliau.

"Kalau begini bukan baik-baik saja namanya De."

"Meq, Memeq percaya kan sama Dede. Lagi pula Dede laki-laki Meq, wajar kalau lecet sedikit."

Cinta diantara tembok Masjid dan PuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang