Ibu memintaku bersiap-siap lima belas menit yang lalu.
Jadilah diriku sekarang, memandang cermin, memperhatikan badanku yang kurus dan tinggi. Kupasangkan bros kecil di ujung jilbab ungu yang kubuat menutupi bagian depan ke sebelah kiri. Gamis rumahan berwarna abu-abu kugunakan untuk menutupi badan.
Wajahku sudah kuoles dengan tabir surya dan ditutupi bedak tipis, sedangkan bibir kuberi lip balm agar tidak kering. Aku tidak pandai berdandan di usiaku yang dua puluhan ini, tetapi ibu selalu mengingatkanku untuk sedikit berhias agar terlihat segar.
"Nita, sudah siap belum?"
Suara ibuku terdengar dari depan pintu.
"Sebentar lagi, Buu." Aku melihat-lihat lagi pantulan diriku di cermin. Setelah kurasa jilbab tidak melenceng dan riasan tidak berlebihan, aku mengangkat tas hitam kecil di meja yang berisi ponsel serta beberapa lembar rupiah yang kuselipkan di kantung pinggir.
Keluar dari kamar, aku melihat Ibu sudah rapi dengan gamis dan jilbab cokelat, memakai tas selempang. Tangan Ibu menenteng rantang. Sementara itu, ayahku memakai celana hitam panjang, baju takwa cokelat kehitaman, dan kopiah kain hitam.
"Kita mau ke mana, Bu, Yah?" tanyaku sambil mengikuti mereka keluar rumah.
Ibu mengunci pintu, Ayah menuju mobil.
Mobil kijang hijau tua itu telah menemani keluargaku beberapa tahun terakhir.
"Ayah mau tengok teman yang sedang sakit. Ituloh, Nita, anaknya dulu satu sekolah sama kamu," jelas Ibu yang berjalan mendekatiku.
"Siapa, Bu?"
"Ibu juga gak ingat namanya."
Aku dan Ibu masuk ke mobil yang mesinnya sudah menyala.
Kupikir perjalanan akan jauh, ternyata hanya menghabiskan waktu setengah jam tanpa harus berkeliling Jakarta.
Ayahku memarkirkan mobil di salah satu rumah yang terletak di Perumahan Taman Kencana. Aku membaca gapura yang menunjukkan nama perumahan tersebut sebelum sampai ke lokasi ini.
Ayah menyuruh Ibu dan aku turun, lalu keluar dari mobil terlebih dahulu. Ibu menyusul.
Aku keluar dan mengunci pintu mobil setelah mengamati kaca tengah memastikan posisi jilbabku belum berantakan. Kulihat Ayah sedang mengucap salam meski sudah membunyikan bel. Aku pun menghampirinya. Ibu masih memegang rantang di samping Ayah.
Tidak lama kemudian, seseorang menghampiri pintu pagar sambil menjawab salam.
Suara tegas laki-laki yang membuatku penasaran dengan sosoknya.
Gerbang terbuka, dan kulihat sosok laki-laki lebih tua dariku yang samar-samar wajahnya familier. Hanya saja, aku tidak sepenuhnya ingat.
"Mau bertemu siapa ya, Pak?" tanya laki-laki itu.
Aku tidak ingin mengalihkan pandangan dari laki-laki menawan di hadapan kami.
Badan tinggi. Potongan rambut rapi.
Laki-laki itu mengenakan celana panjang dan kaus merah, memberikan efek cerah pada kulitnya.
"Apakah benar ini rumahnya Bapak Rudy Atmaja?" Ayahku bertanya sambil tersenyum ramah.
"Benar sekali."
"Benar, Pak, ini rumahnya," sahut ibuku, ceria.
"Saya mendapat kabar langsung dari Pak Rudy jika beliau sedang sakit. Saya datang ke sini untuk menjenguk beliau. Apakah kami bisa melihat keadaannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
Художественная проза[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...