Seperti baru saja terhantam ombak, aku segera membangkitkan kesadaranku. Aku masih merasakan dengan jelas, tangan Tedy yang dingin. Tanganku pindah ke pipinya, lalu kening. Kulit yang biasanya menghantarkan rasa hangat malah menjadi dingin.
Aku bangun, dan bergegas turun dari tempat tidur. Kunyalakan lampu dengan menekan sakelar dekat pintu, lalu membuka laci-laci meja untuk mencari obat. Namun, sebelum berhasil menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk menghentikan demam suamiku, aku melihat bungkus kecil tergeletak di meja.
Itu adalah bungkus bekas obat penurun demam.
Aku merasa lega karena mengetahui Tedy sudah menimum obat, tetapi mengingat suhu tubuhnya belum kembali normal, diriku segera meninggalkan kamar. Aku ke dapur, memasak air, menyiapkan baskom sedang, lalu kembali ke kamar untuk mencari handuk kecil. Kubuka lemari pakaian, hampir saja aku mengacak-acak seluruh isinya untuk menemukan benda lembut yang kecil itu. Aku teringat memiliki benda itu dan kusimpan dengan jilbab-jilbabku.
Setelah menemukan handuk, aku lekas menaruh di meja, lalu berjalan cepat ke dapur, mengingat air yang sedang kumasak. Kutengok ke panci dan air sudah menampilkan gelembung-gelembung. Cepat-cepat, kumatikan kompor, lalu menuangkan air ke baskom yang tergeletak di meja. Baskom tidak kuisi penuh air mendidih karena kutambah juga dengan air biasa agar menjadi lebih hangat.
Dengan baskom kugenggam dengan kedua tangan, aku berjalan dengan agak cepat, tetapi juga hati-hati agar air tidak tumpah terlalu banyak ke lantai. Kutaruh baskom di meja, mengangkat kursi ke samping tempat tidur. Kuambil lagi baskom dan handuk, lalu kuletakkan baskom di kursi.
Aku mengelap wajah Tedy dengan air hangat sambil duduk di ujung tempat tidur, lalu menaruh handuk yang sudah kuhangatkan lagi di keningnya. Kulakukan berulang hingga air tidak lagi terasa hangat. Kukembalikan baskom ke dapur, kutaruh di tempat cucian piring dengan air yang sudah kutuang. Kuperas handuk dan kubilas, lalu kumasukkan handuk ke mesin cuci.
Tidak ingin berlama-lama di dapur, aku segera kembali ke kamar, lalu menutup pintu. Kubiarkan lampu menyala agar bisa melihat keadaan suamiku. Tedy masih berkeringat, tetapi saat kupegang lagi wajahnya, sudah tidak begitu dingin. Aku kembali ke tempat tidur, meluruskan tubuh sambil menghadap ke arahnya. Kugenggam tangannya dengan tangan kiri, tangan kanan kugunakan untuk sesekali mengecek suhu tubuhnya.
Malam terasa panjang, dan aku tidak lagi mengantuk. Sambil memandang suamiku, aku mengucapkan doa-doa dalam hati, memohon kesembuhan untuk suamiku.
Beberapa waktu kemudian, azan subuh berkumandang, aku yang masih terjaga memeriksa kembali kondisi Tedy dengan memegang keningnya. Dia semakin membaik. Begitu aku mengusap-usap kepalanya, perlahan mata Tedy terbuka. Aku tersenyum, bersyukur karena Tedy bisa melalui malam yang berat.
"Mas, sudah subuh. Sudah enakan belum atau mau lanjut tidur lagi?" tanyaku berusaha lembut.
"Sudah mendingan, Dek," jawabnya dengan suara masih agak serak. Dia hendak bangun dan mengetahui jika tanganku masih menggenggam tangannya. Dia mengulas senyum yang membuat perasaanku luruh. "Terima kasih, Dek." Meski semalam suamiku tertidur pulas, sepertinya dia mengerti jika aku berusaha untuk menurunkan demamnya.
"Kalau Mas masih merasa tidak enak badan, istirahat lagi saja. Nita mau subuhan, terus masak." Aku pun melepaskan genggaman, lalu meninggalkan Tedy yang sudah bersandar.
Aku segera melaksanakan salat, lalu memasak. Meski sedikit mengantuk, aku berhasil membuat sayur bening dan ikan goreng. Aku juga membuatkan susu agar badannya lebih segar.
Tedy juga sudah selesai mandi dan salat. Aku sempat khawatir dengan keadaannya saat berjalan ke dapur karena masih kelihatan belum begitu fit, tetapi dia mengakui jika sudah merasa lebih baik.
Dia tidak mengelak dari tatapanku sehingga aku percaya dengan ucapannya.
"Tedy, apa kamu masih mau berangkat kerja hari ini?" tanya Bapak tanpa membahas tentang keadaan suamiku saat kami selesai sarapan. Sepertinya beliau sudah paham dengan kondisi Tedy.
"Tedy masih harus masuk, Pak. Ada laporan yang harus Tedy kumpulkan," jawab Tedy dengan suara lebih jelas. Dia baru saja menghabiskan susu yang telah hangat, meski agak lambat karena dari ekspresinya seperti tidak berselera. Saat makan juga Tedy tidak begitu lahap.
"Apa tidak izin saja, Mas? Mas masih perlu istirahat," ucapku yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Tidak apa-apa, Dek. Mas sudah lebih baik. Kan, kamu yang sudah sembuhin Mas."
Wajahku memanas, tetapi tidak kutunjukkan kesenangan. Aku masih sangat cemas, dan itu pasti jelas terlihat dalam tatapan mata, kerutan dahi, dan bibir cemberut. Sungguh, melihat suamiku demam seperti semalam bukan sesuatu yang menyenangkan.
Tedy menghampiriku yang masih duduk, lalu menarik kepalaku agar bersandar padanya. Tangannya mengusap-usap rambutku. "Maafin Mas, ya, sudah buat kamu cemas. Mas sudah lebih baik, kamu tidak perlu terlalu khawatir lagi."
"Kalau ada apa-apa, Mas harus cerita sama Nita, telepon Nita." Suaraku sedikit serak, tetapi kutahan air mata agar tidak mengalir. Aku tidak harus menahan Tedy agar izin bekerja hanya karena kesedihanku.
"Iya, Dek." Tangannya berpindah mengusap bahuku, dan aku memeluk pinggangnya.
Kami saling melepaskan pelukan begitu aku mengatakan sudah merasa lebih baik. Dia tersenyum, dan aku tidak bisa lagi menolak untuk membalas.
Tedy berangkat bekerja, sementara aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah. Kegiatan yang kulakukan agak berat karena berulang kali aku menguap. Selesai dengan semua yang biasa kulakukan, aku pergi mandi, lalu ke kamar dan menjatuhkan diri ke tempat tidur. Tidak butuh waktu lama, aku sudah tidak sadarkan diri.
Saat terbangun, kepalaku sedikit pening. Aku turun dari tempat tidur, melihat jam dinding, dan ternyata sudah pukul satu siang. Tidak menunggu lama lagi, aku bergegas ke kamar mandi, cuci muka, berwudu, lalu salat zuhur.
Selesai salat, aku melihat ponsel dan menengok pesan dari Tedy yang mengingatkanku agar jangan lupa makan siang. Seharusnya aku yang melakukan itu. Karena ingin mengetahui kondisinya, aku melakukan panggilan telepon, tetapi tidak juga dijawab. Diriku pun tidak mengulangi panggilan lagi karena kupikir Tedy sedang sibuk.
Perutku berbunyi, dan segera aku ke dapur, mengambil piring. Namun, tanganku tidak memegang erat sehingga piring besi bermotif kembang jatuh ke lantai dan menimbukkan suara besi berbenturan. Aku kembali memungut benda berbentuk lingkaran tersebut dengan perasaan berdebar tidak karuan.
Aku mengatur napas perlahan agar bisa lega, lalu beranjak ke meja makan. Diriku mengambil nasi tidak banyak. Aku juga tidak mengerti alasan melakukan ini, seperti agak sedikit tidak berselera makan, tetapi aku tidak merasa sedang sakit.
"Ada apa, Qanita?" tanya Bapak yang berjalan menghampiriku. Beliau pasti terganggu karena suara piring jatuh.
"Nita mau makan, tapi piringnya sempat terjatuh tadi. Bapak sudah makan?"
"Sudah, Qanita." Bapak pun duduk di salah satu kursi yang kosong sambil memegang ponsel. Tidak biasanya Bapak keluar membawa benda itu.
Baru melakukan beberapa suap nasi serta lauk, ponsel Bapak berbunyi. "Tedy, Qanita," katanya.
"Angkat saja, Pak," kataku.
Bapak menerima panggilan, lalu ekspresi wajahnya berubah seketika dan membuatku yakin jika ada sesuatu yang terjadi.
Aku langsung kehilangan selera dan perasaanku menjadi sangat cemas.
================================
13 Desember 2021
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja
Dedew Lan Hua
Diikutsertakan dalam FTV Series
Diadakan oleh AnFight
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
Ficción General[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...