Karena aku mulai tidak betah memendam perasaanku sendiri, dan masih belum mengetahui masalah yang sedang dialami Tedy, aku memutuskan untuk menghubungi Nur. Dia satu-satunya yang kupikirkan dan selalu bisa memberi saran yang baik. Kebetulan sudah pukul sembilan pagi lewat lima belas menit, kupikir Nur sedang tidak begitu sibuk.
Nur menerima panggilanku dan aku langsung memberi salam padanya. Aku mendengar dia membalasku. Seperti biasa, kami berbasa-basi dengan menanyakan kabar masing-masing. Aku mengabarkan padanya jika aku sudah bisa melalui fase mual.
Aku pun lanjut menceritakan sikap Tedy beberapa hari ini, yang membuat Nur tertawa kecil. Aku heran kenapa Nur malah menertawakanku yang dapat kudengar. Aku pun meminta penjelasan padanya penyebab menertawaiku. Dia meminta maaf, lalu menjelaskan jika aku tidak perlu heran dan kesal. Aku tentu bertambah bingung.
"Kamu sudah hamil berapa bulan Nita?" tanyanya yang padahal aku sudah menceritakan padanya.
Aku tetap memberi tahu, "Sudah mau empat bulan." Aku mencoba menyimak percakapan agar fokus dan mendengar lebih jelas.
"Selama empat bulan apa kalian sudah berhubungan?"
Aku berpikir sebentar. "Kami setiap hari berhubungan melalui telepon."
Kudengar Nur tertawa. "Bukan berhubungan yang itu. Tapi sebagai suami dan istri yang biasa kalian sebelum kamu hamil."
Giliran aku yang tertawa kecil untuk menertawakan kegagalpahaman diriku. "Apa hubungannya dengan itu Nur dengan sikap Tedy?" Aku masih belum bisa memahami. Mungkin karena pikiranku masih kusut, jadi belum bisa mencerna ucapan Nur.
"Begini, kalian kan suami istri. Suamimu juga pasti membutuhkanmu dalam keadaan tertentu. Apalagi kamu sudah menjelaskan padaku jika beberapa hari kamu mengubah penampilanmu menjadi lebih menarik. Kamu pasti semakin cantik, Nita. Tanpa kamu sadari, kamu sudah menarik perhatiannya."
Aku berpikir lagi. "Jadi, aku sudah membuatnya tambah jatuh cinta padaku?"
"Secara tidak langsung seperti itu. Dia ingat kamu sedang hamil, jadi hanya bisa menahan sambil tetap memperhatikan kamu."
Perlahan, aku bisa memahami maksud dari perkataan Nur. Aku jadi merasa bersalah dengan Tedy karena sudah kesal dengannya. Ternyata dia juga tersiksa karena kondisiku yang sedang hamil. Aku baru menyadari selama hamil kami tidak menghabiskan malam bersama. Karena mual yang sering kualami, aku jadi tidak terpikirkan ke sana.
Karena merindukan ibu, aku juga menelepon ibuku setelah makan siang dan memberitahu jika aku merasakan gerakan dalam perutku. Ibu menyatakan kegembiraannya dan mendoakan agar janinku sehat hingga lahiran. Aku menanyakan kabar ayah juga usaha katering. Ibu menjelaskan jika semuanya baik. Diriku merasa lega mendengarnya.
Aku juga memberi tahu Ibu tentang obrolanku dengan Nur. Dia mengomel padaku karena tidak bicara padanya, tetapi dengan nada akrab, tidak meninggikan suara. Selepas Ibu mengomel, kami kembali mengobrol dan diiringi tawa kecil masing-masing.
Ibu memberi tahu diriku agar menjaga kesehatan. Dia pasti sangat mencemaskanku karena tidak bisa berada di dekatku. Aku yang dulu sering menempel padanya, jadi harus berusaha sendiri menjaga kehamilanku. Dia memberiku resep minuman kesehatan bagi ibu hamil yang mudah dibuat di rumah. Mulai dari cara membuat smoothies, jus buah, hingga infus water.
"Kamu harus menuruti kata suamimu, Nita, apalagi yang berhubungan dengan kesehatanmu. Tedy mungkin agak keras supaya kamu lebih nurut dengannya. Ini kehamilan pertamamu dan dia pasti juga sangat hati-hati terhadapmu karena yang dalam kandunganmu juga merupakan anaknya. Tedy pasti lebih paham. Kamu juga belajar untuk memahaminya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
General Fiction[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...