Sekembali dari rumah orang tuaku, sikap Tedy jadi berubah. Dia tetap ramah padaku, tetapi tidak ada kehangatan yang membuatku terpana. Dia seperti seseorang yang berbeda. Atau ini hanya perasaanku saja sehingga aku berusaha tetap bersikap sama.
Suamiku akan pergi mandi, dan aku hendak mengambilkan pakaian ganti untuknya. Namun, dia memerintahkan aku untuk menyiapkan makan malam. Aku jadi teringat seplastik lauk dari ibu yang kutaruh di meja kerjanya.
Sambil berjalan dengan hati-hati, aku mengambil plastik tersebut dan membawanya ke dapur. Aku menuang empat potong ikan emas yang dilumuri sambal ke piring dan menuang tumis buncis dan tahu ke piring. Aku pun menaruh piring-piring tersebut ke meja makan lalu membuang plastik bekas membungkus ke tempat sampah yang berada di bawah tempat mencuci piring.
Makan malam berjalan kurang menyenangkan karena aku dan Tedy lebih banyak diam. Bapak juga masih kurang senang padaku, beliau terus menceramahiku tanpa henti. Suamiku juga tidak menghetikan ucapan Bapak sampai aku pun meminta maaf pada Bapak.
Seharusnya, atas kejadian hari ini, kami saling menguatkan. Namun, Tedy tidak menunjukkan keinginan untuk meraih hatiku. Saat kami tidur juga sedikit berjarak. Begitu aku memandanginya, dia berusaha memejamkan mata. Aku pun mengoceh sendiri dengan calon bayiku hingga aku terlelap.
Keesokan harinya hubungan kami belum berubah. Saat aku mengantar Tedy ke mobil, tidak ada lagi kecup kening atau usapan kepala. Aku hanya salim padanya, dan memintanya untuk berpamitan dengan calon bayi.
Aku yang belum terbiasa menghadapi sikap Tedy yang kecewa padaku, mencoba untuk bersikap biasa. Aku tidak ingin emosi memengaruhi diriku dan membuatku merasakan sakit kembali. Diriku harus tenang untuk menjaga kehamilanku.
Aku memiliki ide untuk memberi kabar setiap sesuatu yang baik kepada Tedy. Diriku hanya berharap suamiku juga merasa lebih baik. Sesuai jadwal istirahat suamiku, aku meneleponnya. Aku menanyakan sesuatu yang sudah sering kami perbincangkan, soal makan, salat, dan kondisiku.
Aku masih belum bisa kembali cekatan selama melakukan kegiatan di rumah. Ketika menyetrika, aku mengutamakan pakaian Tedy dan Bapak, sedangkan milikku kulakukan saat memiliki waktu luang lebih banyak dan saat badanku merasa lebih baik.
Bapak memintaku membuat kolak, sedangkan bahan tidak ada. Aku memesan buah mangga dan jeruk pada tukang buah langganan dan meminta membantunya untuk membelikan bahan kolak.
Aku bersyukur dia setuju untuk membantu, dan aku tinggal menunggu kedatangannya sambil menyiapkan keperluan membuat kolak. Hampir satu jam, pesananku baru datang, lalu beri bayaran lebih untuknya. Kutaruh belanjaanku di meja dapur, lalu kumulai dengan mengupas singkong dan ubi.
Aku memanaskan air hingga mendidih, lalu memasukkan potongan umbi-umbi, irisan pisang. Kubiarkan hingga empuk, baru kemudian kumasukkan gula merah, sedikit irisan jahe dan dua lembar daun pandan. santan terakhir kumasukkan setelah gula merah tercampur rata.
Kolak sudah jadi, dan aku mengabarkan pada Bapak. Bapak tidak meminta untuk mengambilkan dan akan mengambilnya sendiri. Aku pun kembali ke kamar untuk mendinginkan diri karena kelamaan berada di dapur membuat tubuhnya berkeringat.
Selepas makan malam, aku meminum vitamin dari dokter, tepat di depan Tedy yang sudah di rumah. Aku terseyum untuknya, tetapi dia masih belum menanggapiku dengan pandangan penuh kasih sayang.
Tedy mulai mengingatkanku untuk tidak melakukan banyak kegiatan. Namun, sikapnya menjadi protektif. Dia mengaturku agar tidak terjadi sesuatu dengan kehamilanku.
"Besok saja kamu sapu lagi. Kamu istirahat saja di kamar," perintah Tedy saat melihatku menyapu dari ruang makan hingga ruang tamu.
"Iya, Mas." Aku pun lekas selesaikan menyapu sambil dilihati suamiku yang sedang duduk di sofa. Tatapannya yang serius membuatku tidak nyaman. Aku tidak mungkin meninggalkan kegiatan menyapu begitu saja yang hampir selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
Fiksi Umum[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...