Bab 19: Makan Malam Bersama

8 3 0
                                    

Tidak banyak yang bisa kulakukan. Perut yang mulai membesar menjelang empat bulan membuat langkahku tidak bisa segesit sebelumnya.

Kaki dan pinggang jadi gampang pegal. Setelah masak, sarapan, dan mencuci piring, aku tidak langsung mengerjakan pekerjaan yang lain. Namun, ada yang harus kusyukuri karena Tedy bersedia menyapu ruangan sebelum berangkat.

Beberapa hari ini, aku meluruskan kaki hingga terasa nyaman, baru melakukan kegiatan lain. Aku melihat ponsel, ada keinginan untuk menghubungi Nur, tetapi jam di ponsel menujukkan pukul delapan pagi. Aku rasa bukan waktu yang tepat untuk menelepon.

Setelah mengurungkan niat untuk melakukan panggilan, aku turun dari tempat tidur dan merapikan kamar dengan hati-hati, tidak teburu-buru.

Aku keluar dari kamar, dan kembali sambil membawa segelas air dan camilan, lalu kutaruh di meja. Diriku duduk di kursi kebesaran suamiku. Bukan berarti kursinya besar dan lebar, tetapi maksudku kursi yang sering diduduki.

Untuk mengurangi kebosanan karena tidak bisa terlalu lelah bekerja, aku memilih membaca buku. Namun, aku malah mengambil buku resep yang beberapa bulan lalu kuminta Tedy untuk membelikannya.

Melihat berbagai menu makanan yang cukup menggoda, aku pun memakan kerupuk kentang yang renyah. Aku berhenti pada sup buah yang kelihatan segar. Kubaca dan kuingat-ingat bagian bahan-bahan, cara membuat.

Kupikir buah yang masih belum habis akan bermanfaat jika dijadikan minuman menyegarkan. Belum selesai satu buku, ternyata aku sudah menghabiskan stoples kecil kerupuk kentang. Aku pun mengembalikan gelas dan stoples kosong ke dapur.

Namun, saat hendak kembali ke kamar, perutku bergejolak. Mual.

Aku sudah mengosongkan lagi perutku, dan tidak berani makan apa-apa lagi sampai aku merasa nyaman. Berada di kamar lagi, aku meluruskan kaki  sambil bersandar, pinggang belakang diberi bantal agar tidak terlalu kaku.

Sudah pukul sembilan lewat saat aku mengecek ponsel, dan kuputuskan untuk menghubungi Nur. Panggilan tersambung, dan kuucapkan salam yang langsung dibalas olehnya.

"Nur, sedang sibuk?" tanyaku.

"Tidak, Nita. Ini lagi di kamar sama anakku," jawab Nur yang terdengar ramah di telingaku.

"Bagaimana kabarnya?" Aku merasa antusias mengingat anak laki-laki Nur yang masih menggemaskan.

"Alhamdulillah sehat. Kamu sendiri bagaimana Nita? Masih mual?"

"Sampai sekarang, Alhamdulillah masih baik. Cuma ya masih suka mual-mual." Aku mengusap perut untuk memberikan rasa nyaman.

"Apa kamu minum susu hamil juga?"

"Aku minum, tapi tidak sering. Rasanya akan mual setiap meminumnya."

Aku mendengar suara ocehan bayi yang tidak kumengerti. "Coba minum saat benar-benar lapar. Tapi jangan sampai terlewat. Nanti malah perutmu yang sakit."

"Pas saat kamu sedang mual-mualnya, Nur, ada makan dan minum sesuatu selain susu?"

"Kalau aku, tidak pilih-pilih makanan, meski akhirnya aku keluarkan juga, tapi pelan-pelan aku makan sesuatu lagi."

"Apa makan camilan membantu Nur? Aku sedia camilan juga jika lapar."

"Bisa juga, tapi jangan sampai makan camilan menjelang malam. Bisa kamu ganti dengan buah atau puding rendah gula. Terlalu banyak camilan bobot akan bertambah, dan badan juga tidak bertenaga."

Aku mengangguk. "Benar juga, kalau malam, aku sering lapar. Paling gampang ada camilan yang bisa ditaruh di dekatku."

"Tidak apa-apa jika sekarang, kan masih dalam masa pertumbuhan. Tapi tetep kamu imbangi dengan sayuran, buah-buahan, ikan."

Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang