Aku tidak bertengkar dengan suamiku. Perasaan tidak karuan beberapa hari ini bukan karena adanya pertengkaran dalam rumah tangga kami, melainkan karena setitik keegoisan yang menginginkan Tedy lebih banyak waktu bersamaku.
Sejak aku mulai mengerti, Tedy benar-benar bekerja untuk keluarga, senyumku lebih mereka dari sebelum-sebelumnya. Suamiku pun makin bersikap lembut. Kami layaknya sepasang kekasih yang jatuh cinta lagi.
Aku tidak ingin mempermasalahkan lagi Tedy yang bekerja lembur. Selama dia benar bekerja, tentu sebagai istri aku tidak akan menghalangi suami yang sedang mencari nafkah. Hanya saja, aku mulai membutuhkan teman bicara, sesama perempuan, yang bisa berbagi ilmu dan pengalaman.
Saat sarapan, aku pun memberanikan diri mengatakan keinginanku kepada Tedy. "Mas, ada sesuatu yang ingin Nita bicarakan."
"Apa, Dek?" tanyanya setelah meletakkan sendok ke piring yang tersisa beberapa butir nasi bercampur bumbu berlemak.
Bapak sudah selesai makan dan pergi ke halaman untuk memandangi burung-burung yang dipeliharanya. Hewan itu telah menjadi teman Bapak saat ditinggal Tedy bekerja. Bapak saja ingin memiliki teman, begitu pun aku.
"Mas, apakah Nita boleh pergi keluar sendiri? Nita mau bertemu teman dekat Nita sewaktu sekolah. Sama kalau boleh juga, Nita mau mengunjungi Ayah sama Ibu," ucapku lembut, tidak menunjukkan keinginan yang kuat karena jika ditolak pun aku tidak akan memaksa.
"Kalau kamu mau ke tempat Ayah dan Ibu, Mas bisa anter sekalian berangkat kerja, dan pulangnya Mas bisa jemput. Kalau bertemu teman, apakah kamu hafal jalan, Dek?" Tedy mengamati mataku.
Benar juga Tedy bisa mengantarku ke rumah Ayah dan Ibu. Kenapa tidak dari kemarin saja aku meminta padanya? Aku sudah sangat merindukan mereka. "Nita belum pernah, sih, Mas, pergi jauh-jauh sendiri, tapi Nita bisa tanya-tanya sama temen Nita naik apa."
"Dek, kamu kan bisa tanya sama Mas."
Aku tersenyum malu. Tidak terpikirkan sebelumnya jika suamiku pasti sudah sering berkeliling Jakarta. "Iya, Mas. Apa boleh, Mas?"
"Mas sebenarnya ingin antar ke mana pun kamu mau pergi. Tapi, kan, Mas belum ada liburnya. Kalau kamu mau pergi, bisa minta Bapak untuk temenin."
"Kalau Nita mau pergi sendiri, apa boleh, Mas?"
Tedy memandangku. Aku tahu dia pasti sedang memikirkan keinginanku ini. Apakah aku sudah meminta yang tidak-tidak? Makin lama dipandangi, aku merasa tidak nyaman. Aku pasrah jika memang tidak diizinkan. Kuulaskan senyum agar Tedy merasa aku menerima apa pun keputusannya.
"Tentu saja boleh, Dek." Tedy tersenyum. "Kalau butuh sesuatu, kabarin Mas. Kamu nanti naik mobil online saja, lewat aplikasi. Biar Mas yang isi saldo. Kalau pulangnya mau ke tempat Ayah dan Ibu, kabarin Mas juga, biar bisa Mas jemput pulangnya."
Aku mengangguk sambil tersenyum cerah. "Aplikasi apa, Mas?" Beginilah aku tidak begitu paham aplikasi karena setiap pergi sering diantar Ayah. Ayah tidak mengizinkan anak perempuannya berpergian seorang diri. Meski janjian dengan teman, Ayah bersedia mengantarkan kami.
Suamiku berdiri, lalu menggerakkan kursi mendekatiku, lalu duduk di sebelah. "Mana hape kamu, Dek?"
"Ada di kamar, Mas. Aku ambil sebentar." Sebelum pergi ke kamar, aku memandang matanya yang penuh perhatian.
Buru-buru, aku ke kamar, mengambil ponsel di meja, dan begitu kembali ke meja makan, piring kotor sudah tertumpuk dengan sendok memenuhi piring paling atas. Relfeks, senyumku pun mengembang. Aku duduk kembali ke kursi dengan hati-hati.
Aku memberikan ponsel dan membiarkan Tedy mengotak-atik benda itu. Suamiku pun mengajarkan aku menggunakan aplikasi untuk memesan mobil. Aku berusaha memperhatikan, meskipun tidak bisa terlalu fokus karena Tedy yang mau berangkat bekerja masih sangat harum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
General Fiction[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...