Aku tidak sedang bermimpi. Perjodohan diriku dengan Tedy benar-benar terjadi. Semenjak pertemuan dengan keluarga Bapak Rudy Atmaja, aku menjadi sering gelisah.
Bagaimanapun, aku masih belum memikirkan pernikahan. Aku masih ingin membantu ibu menjalankan usaha katering yang mulai berkembang. Namun, jika mengingat sosok laki-laki keturunan Bapak Rudy, aku bisa senyum-senyum sendiri.
Perasaanku makin tidak karuan semenjak Tedy berkunjung ke rumah seorang diri. Dia tidak langsung menemuiku, tetapi bertemu dengan ayah. Mereka berbincang seperti kawan lama yang sudah tidak lama berjumpa, begitu akrab, sedangkan aku sibuk membantu ibu membungkus lauk-pauk.
"Nita, bungkusin yang benar. Kamu jangan mikirin Tedy dulu," ucap Ibu dengan suara pelan membuatku salah tingkah.
"Ibu, apaan, sih." Aku juga tidak mengerti tubuhku sendiri. Kehadiran Tedy yang berbincang dengan ayah membuat suasana di rumah berubah. Ada suara baru yang menarik perhatian sehingga kuhentikan sebentar gerakan tangan agar bisa mendengar lebih jelas. Tawa yang ringan memberi perasaan akrab.
Setelah kehadiran Tedy saat itu, Ayah memberi tahu padaku jika Tedy ingin mengenal diriku lebih jauh. Jelas saja aku tidak menyangka Tedy mulai serius dengan perjodohan ini.
Kami pun bertemu. Aku tidak menolak Tedy karena belum ada laki-laki pilihan lain yang kenal keluargaku selain dirinya. Bukan berarti aku tidak punya kenalan sama sekali, hanya saja pikiranku belum terbuka untuk mengundang salah satu dari mereka ke rumah.
Namun, Tedy, dia datang sendiri bagai kumbang yang sudah menentukan akan hinggap di salah satu bunga pilihannya.
Saat bertemu, kami tidak hanya berdua saja. Sepertinya aku juga belum menyiapkan hati untuk berduaan karena tidak cukup mengenal laki-laki itu.
Kami ditemani ayahku.
Ayah pernah mengingatkanku agar mengundang laki-laki ke rumah jika memang laki-laki itu berniat baik. Meski sekadar silaturahmi atau ingin dekat denganku. Pada kenyataannya, aku tidak berani mengundang teman laki-laki ke rumah. Maka dari itu, aku masih belum memiliki hubungan––meski hanya pacaran––yang pasti dengan lawan jenis.
Tedy banyak bertanya padaku, dan aku jawab dengan jujur. Pertanyaan seputar kegiatanku, hobi, dan menyambung ke berbagai pembahasan. Di depan ayahku, dia tidak sungkan, tetapi jelas sekali agak gugup ketika memandangku.
Aku pun begitu.
Komunikasi yang tetap nyambung meski perbedaan umur lumayan jauh membuatku menaruh perhatian pada Tedy dan merasa nyaman. Kuulaskan senyum sambil mendengarkan ceritanya tentang pekerjaan yang sedang dijalani. Dia bekerja sebagai salah satu staff di perusahaan.
"Tedy, Om senang sekali kamu bisa silahturahmi ke sini. Kamu juga mau berkenalan dengan Nita. Tapi Om juga mau ingatkan, Nita anak Om satu-satunya. Jika kamu ingin serius dengan Nita, Om tidak akan mengizinkan kalau kamu ingin pacaran dengannya," ucap ayahku ketika Tedy ingin pamit pulang.
"Baik, Om, saya mengerti." Tedy yang sudah lebih dewasa terlihat siap untuk melanjutkan ke jenjang serius, sedangkan aku masih membutuhkan waktu untuk memantapkan hati.
Keputusan saat ini akan menjadi masa depanku. Namun, jika aku terus-menerus membayangkan sesuatu yang akan terjadi nanti, peristiwa yang belum pasti, diriku tidak akan bisa melangkah ke depan.
Tedy pun pulang, dan aku ditinggalkan dengan perasaan campur aduk.
Beberapa hari berlalu, aku selalu terngiang diskusi sesaat dengan Tedy serta sosoknya yang menyenangkan. Aku menyampaikan perasaan ini kepada orang tuaku. Ayahku hanya tersenyum, dan berkata, "Hanya kamu yang bisa memutuskan Nita. Tanyakan pada hatimu apa yang kamu inginkan."
Ayah sebenarnya sangat mendukung aku menikah dengan Tedy karena kutahu beliau mengutamakan pernikahan daripada berpacaran. Apalagi Tedy merupakan anak dari teman lamanya. Namun, dukungan Ayah berbeda dengan pendapat ibuku.
"Ibu hanya ingin kamu memikirkan matang-matang, Nita. Kamu masih muda. Sudahkah kamu mengenal Tedy? Kalian, kan, baru bertemu beberapa kali."
"Nita tahu, Bu. Tapi perasaan Nita juga tidak mungkin bohong kan, Bu."
"Menjalani pernikahan yang sekali seumur hidup itu tidak mudah, Nita. Apalagi di usiamu yang masih muda. Begitu juga usia Tedy yang jauh di atas kamu. Hubungan kalian tidak akan selalu baik, kamu harus siap dengan keadaan itu. Ibu sebenarnya masih ingin kamu belajar lagi atau mencari pekerjaan, supaya kamu ada bekal untuk masa depanmu. Tapi kalau keputusanmu sudah bulat, Ibu juga sebaiknya mendukungmu. Setelah menikah, kamu akan kehilangan kebebasanmu, Nita. Kamu harus paham bagaimana mengurus keluarga. Kamu juga harus mengerti Tedy yang kamu lihat baik sekarang, belum tentu akan selalu baik."
"Ibu, Nita tidak bisa memastikan masa depan Nita akan seperti apa. Tapi saat ini, Nita harus bisa memutuskan jalan mana yang ingin Nita lalui. Baik atau buruk, Nita harus bisa menerimanya. Memang Nita baru kenal dengan Kak Tedy, tapi perasaan Nita ini begitu meyakinkan."
"Yah, apakah anak kita sedang merasakan cinta?" tanya ibuku sambil menatap Ayah.
Kulihat mata ibuku memerah seperti hendak menangis. Apakah Ibu merasa berat mengetahui anaknya sudah ingin menikah?
Ayahku mengangguk. "Sudah saatnya Nita bertemu dengan jodohnya, Bu. Jika Nita memang benar-benar ingin bersama Tedy, jangan kita biarkan sampai berlarut-larut. Ayah tidak mau hubungan Tedy dan Nita sampai menimbulkan fitnah. Apalagi Tedy laki-laki yang sudah dewasa."
Semenjak percakapan yang serius itu, Ibu menjadi lebih tegas padaku. Beliau mulai mengajarkanku memasak dan mengurus rumah, meski segala yang diajarkan sudah kupelajari dan biasa kulakukan.
Siap tidak siap, aku sudah membuat keputusan.
Tedy dan Pak Rudy datang ke rumah dua minggu kemudian. Tanpa persiapan apa-apa, aku dilamar oleh laki-laki itu. Seharusnya lamaran juga menjadi momen yang tidak terlupakan dengan berpakaian yang kompak, tetapi yang terjadi padaku, Tedy mengikatku dengan cara yang sederhana.
Lamaran telah berlalu. Aku semakin sering berhubungan dengan Tedy, baik komunikasi melalui telepon atau bertemu langsung. Dia laki-laki yang bertanggung jawab karena setiap dibutuhkan untuk mencari keperluan pernikahan, Tedy selalu bersedia.
Tedy juga mampu membuatku tenang dengan tutur kata yang lembut, sementara aku selalu merasa gelisah mempersiapkan banyak hal. Adakalanya aku juga mengambek karena dia susah dihubungi. Namun setelah laki-laki itu menjelaskan jika sedang banyak pekerjaan dengan nada yang meyakinkan, aku berhasil diluluhkan olehnya.
Kusadari selama saling mengenal sekaligus mempersiapkan pernikahan, perbedaan usia dan karakter terkadang membuat kami harus berusaha memahami satu sama lain.
Aku tidak mengerti dunia kerja yang dijalani Tedy di perusahaan karena belum pernah mengalaminya. Tedy selalu memberi tahu dia mulai banyak mengambil pekerjaan untuk biaya pernikahan. Kami jadi semakin sulit bertemu. Namun, aku percaya dia melakukan kegiatan itu untuk pernikahan kami kelak.
Aku semakin percaya Tedy laki-laki yang tepat karena dia begitu peduli dengan urusan pernikahan.
Kami pun menikah beberapa bulan kemudian. Acara pernikahan termasuk mewah karena Tedy sudah memiliki rencana sebelumnya untuk mengundang rekan kerja. Dia juga ingin pernikahan kami memiliki kenangan yang istimewa.
Kami telah mengikat janji suci untuk hidup bersama, dan saling menyayangi.
Aku percaya laki-laki yang kini menjadi suamiku adalah pilihan yang terbaik. Tedy akan menjadi suami yang baik. Meski aku menikah di usia muda, aku berharap bisa menjadi istri yang terbaik untuknya.
================================
06 November 2021
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja
Dedew Lan Hua
Diikutsertakan dalam FTV Series
Diadakan oleh AnFight
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
Fiksi Umum[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...