Aku berusaha baik-baik saja. Ini bukan tentang kepala, perut, tangan, kaki, ataupun dalam tubuhku. Ini soal perasaanku yang belum kunjung tenang. Beberapa kali biasanya Tedy menelepon, tetapi sampai sore hari belum ada panggilan masuk darinya.
Kuputuskan untuk menghubunginya sesuai jam biasa dia menghubungiku, sekitar pukul 16.00.
"Ada apa, Dek?" tanyanya dengan nada sedikit pelan.
"Mas, perasaan Nita tidak enak sejak tadi. Mas baik-baik saja, kan?"
"Nita Sayang, mungkin itu cuma perasaanmu saja."
"Mas, kalau ada apa-apa, bilang sama Nita. Nita sudah telepon Ibu, mereka terdengar baik-baik saja. Nita lihat Bapak juga sepertinya sehat. Nita jadi khawatir sama Mas."
"Iya, Dek, iya."
"Mas...." Perasaanku makin menjadi karena sejak bicara di telepon suara Tedy tidak sejernih biasanya bahkan lebih pelan.
"Dek, Mas mau lanjut kerja lagi, biar segera kelar dan Mas bisa pulang lebih cepat."
"Mas pulang cepat?" Aku sungguh tidak sabar untuk bertemu dengan suamiku, supaya bisa memastikan keadaannya.
Tedy menjawab tidak bisa memastikan, tetapi berusaha agar bisa selesai lebih cepat. Aku pun mengucapkan doa agar pekerjaanya dimudahkan dan dilancarkan.
Aku pun senyum-senyum, meski masih terselip rasa cemas, dan hendak berdiri. Namun, Bapak duduk di salah satu sofa, membuatku urung untuk meninggalkan ruang tamu.
"Kamu barusan teleponan sama siapa?" tanya Bapak.
"Mas Tedy, Pak," jawabku sambil tetap tersenyum.
"Berarti barusan Tedy bilang mau pulang cepat."
Aku mengangguk. "Benar, Pak."
"Qanita, kenapa kamu begitu senang Tedy pulang lebih cepat?"
"Nita senang, Pak, karena bisa melihat Mas Tedy di rumah, bisa makan malam bersama, dan lebih banyak waktu buat Mas Tedy istirahat."
"Tedy bisa pulang cepat pasti ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa bekerja lama. Kamu seharusnya bisa mengerti Tedy, Qanita. Kamu senang Tedy bisa pulang cepat, Tedy belum tentu."
Aku yang tadinya merasa senang dan semangat ingin menyiapkan makan malam mendadak gusar. "Maksud Bapak apa? Ada apa dengan Mas Tedy, Pak?"
"Kamu tanyakan saja dengan Tedy kalau sudah sampai rumah. Dia pasti akan cerita padamu, Qanita."
Aku merenung, memikirkan kembali suara Tedy yang pelan, perkataan Bapak. Perasaanku kembali tidak nyaman.
"Jangan hanya melamun, Qanita. Siapkan makan malam, Tedy pasti lapar setelah pulang kerja."
Aku mengangguk, lalu pamit ke dapur. Aku belum pernah mengalami perasaan secemas ini. Apa benar ada sesuatu yang belum diberitahu Tedy padaku? Meski tidak ingin berpikiran macam-macam, tetapi berbagai pertanyaan terus muncul. Kapan Tedy pulang? Bagaimana keadaannya? Sedang ada masalah apa?
Kualihkan pikiran dengan kegiatan memasak. Hanya saja, perasaan tidak nyaman itu belum juga menghilang. Persiapan masak yang biasanya bisa kulakukan dengan cepat menjadi agak lambat karena berulang kali aku berhenti untuk menenangkan perasaan.
Pukul setengah delapan malam, Tedy sudah sampai rumah. Bapak lebih dulu makan, sedangkan aku sengaja menunggu suamiku. Kuajukan beberapa pertanyaan akibat betapa cemas diriku seharian.
"Mas, bagaimana kerjaan hari ini. Apa ada masalah jadinya Mas pulang cepat?" tanyaku sambil memegang tangannya. Agak dingin, tetapi kupikir karena Tedy baru saja berada di mobil yang ber-AC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
قصص عامة[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...