Bab 4: Pindah Rumah

18 4 0
                                    

Usia muda, menikah, ternyata tidak menjadi momok yang mengusik kehidupanku. Kujalani aktivitas seperti biasa, hanya bertambah kegiatan baru. Sebelum menjadi seorang istri, aku sering sendirian di kamar, menghabiskan waktu membaca buku religi. Sekarang, aku ada yang menemani. Ada yang bisa diajak berbincang.

Tedy senang bicara. Dia cerita mengenai pekerjaan yang mengurus berbagai dokumen, menginput data. Aku yakin dia cekatan menggerakan komputer. Berbanding terbalik dengan diriku yang hanya bisa menggunakan ponsel. Ada laptop yang kupunya sudah tidak sering digunakan semenjak lulus sekolah.

Dia juga punya laptop di rumah, tidak dibawa ke sini. Sambil memegang tangannya, aku meminta untuk diajarkan memakai benda itu dan dia setuju.

Aku semakin sayang padanya karena dia menyambutku, tidak melarang aku mengenal dunianya. Aku pun membiarkan dia memasuki duniaku. Kami bertukar pikiran dan pendapat.

Sikapnya yang aku kenal sekarang berbeda sekali dengan kali pertama kami berjumpa. Justru saat itu dia lebih banyak diam dan aku yang banyak bicara.

"Aku angkat telepon sebentar ya," katanya setelah melihat ponselnya menyala dan bergetar di meja.

Dia tidak pergi keluar kamar. Dia memilih duduk di kursi dekat meja. Tempat biasa aku menetap untuk membaca buku. Sementara dia menelepon, aku masih duduk di ujung tempat tidur, memandang punggungnya yang tegap.

Tedy menjawab kabar dan berterima kasih. Pasti baru saja mendapat ucapan selamat menempuh hidup baru. Kata-kata seperti itu sering aku dengar langsung atau baca di sosial media.

"Tidak ada yang bisa menggantikanku? Saya masih seminggu lagi di rumah mertua," kata suamiku.

"...."

"Karyawan baru memang belum paham. Bapak tidak bisa membantu saya? Atau bisa saya kerjakan dari rumah?"

"...."

"Baiklah kalau begitu. Akan saya bicarakan dengan istri saya."

Tedy kembali duduk di sebelahku, memberi tahu jika sudah waktunya untuk pindah. Rencana awal, kami akan pulang ke rumahnya seminggu lagi, tetapi barusan mendadak dia mengubah keputusan.

Aku tahu saat ini akan tiba. Tedy akan membawaku ke rumahnya dan menetap di sana. Sudah menjadi kewajiban istri untuk ikut dengan suami. Namun, aku masih memintanya untuk mempertimbangkan agar bisa lebih lama lagi tinggal bersama orang tuaku. Kugenggam tangannya, kusandarkan kepala ke bahunya, dan diriku berusaha berbicara dengan lembut.

"Mas juga masih ingin lebih lama lagi di sini, tapi Mas punya pekerjaan. Tidak ada yang bisa menggantikan. Jadi, Dek, mau ya pindah ke rumah Mas sekarang?"

"Nita masih berat pisah sama ayah dan ibu." Aku memang memikirkan orang tuaku. Mereka yang sudah membesarkanku dari lahir. Perpisahan bukan sesuatu yang mudah.

"Kan kapan-kapan kamu bisa ke sini lagi. Atau ayah dan ibu bisa ke rumah kalau mau ketemu."

Pada akhirnya, aku mulai memilih-milih pakaian dan kumasukkan ke tas pakaian. Sebagian kutinggalkan dan akan kubawa ketika datang ke sini lagi. Barang keperluanku yang lain sudah masuk ke tas terpisah. Aku juga menumpuk buku-buku di kardus agar bisa dibawa. Sewaktu-waktu aku butuh untuk membacanya.

Tedy membicarakan kepindahan  dadakan ini kepada orang tuaku selepas makan siang. Dia menjelaskan kembali alasan karena akan mulai sibuk bekerja. Berhubung besok masih libur, dia ingin menghabiskan waktu untuk membereskan rumah. Dia merasa akan kesulitan mengatur waktu lagi jika hari ini tidak bisa pulang.

Dia juga memikirkan ayahnya yang di rumah sendirian.

Aku turut bersedih ketika melihat raut wajah Ayah yang masih terasa berat melepaskanku pergi. Ayah yang selama ini mendidik dan menjagaku. Begitu juga saat aku memandang Ibu, beliau berusaha tersenyum, tetapi aku tahu hatinya menangis sama sepertiku.

Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang