Aku kembali ke rumah dengan selamat. Meski tidak melakukan kegiatan berat, badanku terasa pegal. Mungkin akibat aku lebih banyak duduk-duduk. Begitu masuk ke halaman, aku menyapa Bapak yang sedang bersantai memandang burung.
"Bagaimana rasanya pergi sendiri, Qanita?" tanya Bapak yang membuatku sedikit berpikir.
"Nita senang, Pak, bisa bertemu Nur. Sudah lama tidak bertemu, ternyata dia sudah punya anak laki-laki," jawabku sambil tersenyum.
"Tedy sedang bekerja mencari nafkah, kamu malah senang-senang. Qanita, apa tidak bisa pergi saat Tedy libur?"
Perasaan senang yang kurasakan memudar dengan cepat dan berganti menjadi tidak nyaman. "Nita sudah izin dengan Mas Tedy, Pak. Nita hanya ingin mengunjungi teman lama."
"Berapa pengeluaran yang sudah kamu habiskan hari ini itu dari jerih payah Tedy, bekerja dari pagi sampai malam."
Aku menunduk lesu, tidak menyangka jika Bapak berpikir sampai sejauh ini. "Nita minta maaf, Pak." Cuma itu yang bisa kuucapkan. Pikiranku kembali terusik. Di hadapan Bapak, aku masih berusaha tenang, tetapi hatiku sudah ketar-ketir. Aku tidak bisa menentukan kepergianku hari ini ke tempat Nur, salah atau benar.
"Kamu harus ingat sekarang sudah jadi istri Tedy, harus bisa utamakan kebutuhan keluarga."
"Nita mengerti, Pak."
"Ya sudah, kamu pergi mandi, jangan lupa ashar, berdoa untuk Tedy. Bapak juga minta kamu buatkan jus lagi karena di kulkas sudah habis."
"Baik, Pak." Aku pun segera ke kamar, duduk di ujung tempat tidur, merenung memikirkan kata-kata Bapak.
Selama tinggal dengan orang tuaku, aku tidak pernah minta yang macam-macam, tetapi ketika aku membutuhkan sesuatu, mereka tidak pernah perhitungan. Mereka tidak pernah meributkan soal uang atau memang aku yang tidak tahu apa-apa.
Aku sama sekali tidak bermaksud menghamburkan uang suamiku dan bersenang-senang. Aku senang bertemu dengan Nur karena kami sahabat lama. Aku pun merasa senang karena melihat anak laki-lakinya yang menggemaskan. Aku senang karena tanggapan Tedy mengenai fotoku dengan bayi itu.
Kuhirup napas dalam-dalam dan mengeluarkan perlahan. Aku ingat kembali perkataan Nur yang memberitahuku bahwa dalam rumah tangga akan selalu ada masalah. Mungkin perkataan Bapak barusan merupakan masalah kecil untukku. Aku tidak boleh membiarkan jadi masalah yang besar.
Aku berdiri, menggantungkan tas ke belakang pintu, lalu mengambil pakaian ganti. Mandi, salat, sepertinya bisa membuat pikiranku lebih segar.
Setelah semua itu kulakukan, dan aku sudah berganti pakaian, aku beranjak ke dapur untuk membuat jus mangga. Butuh waktu sekitar lima belas menit, aku membuatnya hingga kutuang ke gelas kaca untuk jus.
Aku pun memberikan jus mangga kepada Bapak yang sedang di ruang tamu sambil menonton berita di televisi.
"Ini jus mangga, Qanita? Bapak mau jus melon. Bisa kamu buatkan lagi?" ucap Bapak terlihat tenang.
"Jus mangga ini bagaimana, Pak? Tidak ingin minum dulu yang ini?"
"Simpan dulu saja di kulkas. Kalau Bapak mau, Bapak bisa ambil sendiri."
Aku hanya mengangguk, tidak ingin berdebat. "Tunggu sebentar ya, Pak, Nita buatkan jus melonnya dulu." Tangan menahan rasa dingin dari gelas yang kugenggam. Kaki kugerakkan kembali ke dapur.
Jus mangga dalam gelas dan blender kutuang hingga memenuhi dua gelas plastik bertutup. Blender yang telah kehilangan jusnya segera kucuci bersih untuk kugunakan membuat jus kembali.
Agak merepotkan karena aku harus mengupas dan memotong melon kecil-kecil. Diriku pun bergerak cepat membuat jus melon karena masih harus memasak untuk makan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
Художественная проза[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...