Aku terbangun, tersadar masih memeluk suamiku. Tedy pun memelukku. Sepertinya aku benar-benar pulas sampai tidak menyadari ini. Kuangkat selimut menjauhi tubuh. Kulepaskan tangannya perlahan dari pinggangku, lalu menjauhkan kakinya dari kakiku.
Aku melihat jam dinding yang berada di atas kepala. Seketika, aku bergerak turun dari kasur karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima.
Aku belum menyiapkan sarapan.
Dapur menjadi tempat yang kutuju. Kutemui Bapak yang sepertinya baru saja dari kamar mandi karena tangan dan rambutnya basah.
"Tedy mana, Qanita?" tanya Bapak, menghentikan langkah.
"Masih tidur, Pak."
"Kenapa tidak sekalian dibangunkan?"
"Biar Mas Tedy tidur sebentar lagi, Pak. Semalam tidur terlalu larut."
"Ya sudah, kamu jangan lupa bangunkan."
Aku mengangguk, dan Bapak pun lanjut berjalan ke kamar. Kugerakkan kaki cepat ke dapur, mencuci muka di wastafel, lalu membuka kulkas. Sambil memikirkan sesuatu yang ingin kumasak, tangan mengambil berbagai macam sayuran dan kukeluarkan.
Sayuran-sayuran itu kutaruh meja. Kuambil peralatan: pisau, talenan, beberapa baskom. Semua kulakukan dengan cepat, hingga terkumpul beberapa bahan yang kubutuhkan untuk membuat sayur sop. Hanya itu yang terlintas di kepalaku.
Sebelum mulai memasak, aku bergegas ke kamar mandi untuk berwudu, lalu kembali ke kamar dan membangunkan suamiku. Dia agak kesulitan bangun, tetapi tidak lama berhasil membuka mata.
Tedy bangun, turun dari tempat tidur, lalu pergi meninggalkan kamar. Aku pun salat subuh. Selesai beribadah, aku melihat suamiku sudah siap untuk bergantian.
Aku cepat-cepat melipat mukena, lalu kembali sibuk di dapur. Baru kali ini aku bekerja seperti dikejar sesuatu. Tedy juga sepertinya mengalami hal yang sama, mandi dengan terburu-buru karena aku mendengar cipratan air yang lebih keras dari biasanya.
Sarapan sudah tersaji di meja, aku pun membersihkan dapur, lalu menyapu lantai. Baru setengah ruangan, aku mendengar nada dering ponselku. Kutinggalkan sapu bersandar ke dinding, lalu mengambil ponsel di kamar.
Ternyata dari ibuku. Aku mengobrol dengan ibu sebentar, kemudian melanjutkan menyapu.
"Mas, ibu barusan telepon minta aku ke rumah. Ada pesanan katering yang jumlahnya banyak. Apa boleh aku ke sana untuk membantu?" jelasku saat kami sudah selesai sarapan. Aku memandangi Tedy, lalu melirik Bapak.
Bapak tidak memperlihatkan ekspresi keberatan.
"Mau berangkat kapan, Dek?" tanya Tedy sambil mengelap bibirnya dengan tisu.
"Kalau bareng Mas saja, bagaimana?"
"Ya sudah, kamu siap-siap sekarang. Kita berangkat lebih pagi."
Aku mengangguk, lalu mengambil piring kotor untuk segera kubersihkan.
Cepat. Cepat.
Aku sudah selesai mencuci piring, berganti pakaian dengan gamis dan jilbab yang lebih santai.
"Bapak, mau ikut ke rumah Ayah dan Ibu?" tanyaku ketika melihat Bapak sudah bersantai di halaman.
"Kamu saja yang pergi, Qanita. Titip salam buat Ayah dan Ibumu."
Aku mengangguk, lalu menyalaminya. Tedy sudah siap di dalam mobil, aku pun segera masuk ke kendaran tersebut.
Tidak terasa aku sampai di rumah orang tuaku karena selama perjalanan Mas Tedy tidak berhenti mengajakku berbincang. Dia membahas kendaraan yang kami lihat, gedung, dan memperkenalkan berbagai tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
General Fiction[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...