Bab 6: Keinginan

7 2 0
                                    

Penjelasan mengenai kondisi Tedy yang dituturkan Bapak membuatku sedikit lega, tetapi tidak bisa menghilangkan kegusaran. Aku hampir saja mencelakakan suami sendiri. Dari cerita yang Bapak sampaikan setelah Tedy berangkat bekerja, suamiku pernah mengalami sakit lambung hingga masuk rumah sakit saat berusia dua puluhan. Tedy dulu penyuka pedas. Dia tidak mau membatasi diri saat menyantap makanan dengan sambal atau cabai.

Selama dirawat, Tedy mengalami penurunan berat badan secara drastis karena kesulitan menerima asupan makanan. Begitu juga setelah keluar dari rumah sakit, dia masih tidak berselera makan dan ada keinginan untuk makan pedas kembali. Namun, saat sakit perut sering menyerangnya, dia mulai mengurangi porsi makanan pedas dan memperhatikan pola makannya.

Karena itu, Bapak mengingatkan Tedy sebelum berangkat kerja agar menyediakan obat diare.

Selama melanjutkan kegiatan di rumah, aku selalu mendoakan suamiku agar baik-baik saja. Setiap jam Tedy istirahat, aku menyempatkan menelepon duluan agar mengetahui keadaannya. Padahal biasanya aku menunggu dia yang menghubungi.

Aku bisa mendengar suaranya seperti biasa sangat melegakan.

"Kamu sudah makan belum, Dek? Jangan sampai kamu mikirin Mas tapi sendirinya belum makan. Mas baik-baik saja." Suara Tedy begitu meyakinkan bahwa dia tidak mengalami masalah.

"Iya, Mas, Nita akan makan setelah ini. Mas kalau ada apa-apa kabarin Nita," ucapku dengan cemas.

"Iya, Sayang. Jangan lupa makan."

Aku mengangguk, dan setelah itu perbincangan berakhir karena Tedy pamit mau pergi salat.

Aku mengembuskan napas lambat, berusaha agar tidak terus memikirkan keadaan Tedy.

Suamiku baik-baik saja. Dia sedang bekerja. Aku terus mengulang kalimat tersebut di kepala.

Sepertinya belum melihat tubuh Tedy di depanku, aku belum bisa lega. Jika sampai terjadi sesuatu padanya, tentu akulah penyebab utama.

Bapak menghiburku saat makan siang agar tidak terlalu memikirkan keadaan Tedy. Sambil mendengarkannya, wajahku telah berkeringat karena kepedasan. Sup ini ternyata sangat pedas yang membuatku makin merasa bersalah.

"Qanita, kamu jangan gelisah terus. Tedy kan sudah dewasa. Dia bisa pasti jaga diri. Kalau ada apa-apa dia akan lekas ambil tindakan karena sudah punya pengalaman," ucap Bapak, tersenyum.

"Tetap saja Nita khawatir, Pak. Mas Tedy kan sedang bekerja. Kalau sampai Mas Tedy sakit, pekerjaannya akan terganggu. Kalau sampai Mas Tedy ditegur bosnya bagaimana, Pak?"

"Tedy pasti bisa menyelesaikan pekerjaannya. Tedy sudah berpengalaman. Semenjak sakit dulu, dia jadi lebih memikirkan kesehatan."

Aku kembali mendoakan agar suamiku tetap sehat.

Makan siang selesai, aku kembali menyibukkan diri di dapur, ruang tamu, dan kamar. Seberapa pun berusaha aku melakukan kesibukan, keinginan untuk melihat Tedy belum teralihkan.

Begitu mendapat kabar Tedy akan pulang lebih awal dari biasanya, aku langsung menunggu di ruang tamu. Sesekali, diriku melihat ke halaman. Padahal Tedy sampai rumah masih sekitar satu jam lagi.

Aku lekas membuka gerbang saat mobil Tedy sudah mencapai depan rumah. Dia yang mau turun untuk membuka gerbang jadi urung, dan melanjutkan memasukkan mobil.

Setelah mobil berhenti, aku bergegas mendekati Tedy yang baru turun dari mobil.

Suamiku tersenyum meski wajahnya sedikit letih sehabis bekerja. Aku langsung menggapai tangannya. "Mas, baik-baik saja, kan?"

"Iya, Dek. Kan sudah Mas bilang tadi kalau Mas baik-baik saja." Tedy menatap mataku, berusaha meyakinkan.

"Syukurlah." Aku lega bisa melihat sosoknya.

"Ayo masuk." Tedy meraih pinggangku dari belakang, lalu mengajakku ke dalam.

Untuk makan malam, aku membuat telur dadar dan tumis kangkung. Tidak ada pedas berlebihan. Aku makan dengan perasaan yang lebih baik dari pagi tadi.

Cemasku sudah hilang. Aku dan Tedy mengobrol di kamar setelah isya. Dia mengotak-atik laptop sambil bersandar di tempat tidur, aku duduk di sampingnya.

Ketika Tedy sedang serius, aku tidak berani bersuara supaya dia bisa berkonsentrasi. Aku pun senang memperhatikan keseriusannya. Namun, dia justru mengajakku bicara. Dia bilang jika bekerja juga butuh hidup. Adanya komunikasi membuat dia merasa hidup.

Dia juga menyampaikan dengan aku bicara dan kami saling bicara, kehidupan akan jadi bermakna. Senyumku pun mengembang ketika dia mengatakan hal tersebut sambil menatapku.

"Mas, bagaimana kalau kita pergi berlibur?" tanyaku setelah Tedy menutup laptopnya. "Kita kan belum pernah jalan berdua saja. Kita juga gak ada pacar-pacaran, Mas. Sepertinya akan menyenangkan ya, Mas?

"Maksudmu bulan madu, Dek?"

Pipiku memanas. "Iya, begitu, Mas."

"Kita bisa pergi kalau ada libur panjang, Dek."

"Masih lama kalau nunggu itu, Mas. Bagaimana kalau pergi ke yang deket-deket dulu, Mas? Yang cuma sehari."

"Kalau Mas ada waktunya ya, Dek. Jadwal Mas juga tidak menentu. Kadang ada saja kerjaan di hari Minggu."

"Berarti kalau ada libur, kita jalan ya, Mas." Aku membayangkan jalan-jalan yang menyenangkan dengan Tedy.

"Iya, Sayang." Dia turun dari tempat tidur lalu menaruh laptop ke dalam tas laptop.

Tedy pun kembali duduk bersandar. Dia menarik kepalaku agar bersandar di bahunya.

"Mas seneng karena kamu berpikir kita bisa jalan-jalan. Memang akan menyenangkan jika bisa pergi berdua. Kamu rencana mau pergi ke mana?"

"Nita sudah lihat-lihat berapa tempat yang bagus, Mas. Ke pantai, hutan Mangrove, restoran."

"Kalau begitu, kamu bisa pilih mana yang bagus untuk dikunjungi."

"Semuanya bagus, Mas. Nita bingung pilihya."

"Ya satu-satu dulu ya, Dek."

Aku menyunggingkan senyum.

"Beberapa bulan ke depan, Mas akan sibuk, Dek. Mas belum bisa menawarkan waktu kosong dalam waktu dekat ini. Tapi kamu mau ke mana bisa cerita sama, Mas. Meski belum bisa pergi, kita bisa sama-sama membayangkan berada di sana."

"Ini seperti bermimpi dulu ya, Mas?"

"Kamu mengerti juga, Dek?"

"Nita membaca buku, Mas."

Tedy mengangguk. "Rumah impian, jalan-jalan impian. Ini akan menyenangkan jika bisa memikirkannya setiap hari. Kita bisa bercerita berbagai hal tentang tempat yang akan kita kunjungi."

"Setuju, Mas. Ada baiknya kita mengenal tempatnya dulu sebelum datang ke sana."

Perbincangan terus berlanjut hingga membahas impianku dan impiannya. Aku memiliki keinginan untuk mengajar bahasa Arab karena memperhatikan guru bahasa Arabku begitu ramah dan menyenangkan. Tedy pernah ingin menjadi polisi. Saat kecil, dia sering berpakaian polisi dan berakting menangkap penjahat kecil yang merupakan teman-temannya.

Pembahasan mengenai impian tersebut membuatku makin terbuka. Aku semakin lancar mengobrol dengan Tedy. Kami saling mengemukakan pendapat seperti teman yang akrab. Dia pun menyelipkan candaan, terkadang rayuan yang membuatku terpesona.

Makin merasa dekat, makin aku ingin berpergian dengannya. Kami bisa melihat keluarga lainnya, yang begitu kompak antara orang tua dan anak. Pasangan lainnya yang terlihat lebih mesra dari kami. Mereka berbahagia, bebas, benar-benar menikmati waktu singkat yang diberikan.

Aku berharap Tedy bisa menggunakan waktu tersebut, jika dapat, untuk melepaskan beban dalam pikiran, dan aku menjadi pendamping yang bahagia bersamanya.

================================

17 November 2021
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja
Dedew Lan Hua
Diikutsertakan dalam FTV Series
Diadakan oleh AnFight

Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang