Bab 7: Mengeluh

4 2 0
                                    

Dunia serasa milik berdua. Seperti itulah yang kurasakan saat sedang bersama Tedy. Dia masih sempat menemaniku di dapur saat aku memasak dan berbincang. Aku bahagia saat bersamanya.

Hari demi hari kujalani dengan rasa sayang yang terus bermekaran, sampai pada saat Tedy bangun lebih siang, aku mulai kehilangan teman mengobrol di dapur saat memasak. Hanya ada suara kulkas terbuka dan tertutup ketika aku mengambil sesuatu, suara pisau mengetuk-ngetuk membelah sayuran dan sebagainya, suara keran yang menyala ketika sedang mencuci bahan mentah, suara desis api yang sedang memanaskan panci.

Semenjak Tedy sering pulang malam karena lembur, waktu berbincangku sebelum tidur juga berkurang. Terkadang, suamiku pulang dan aku sudah tertidur lelap. Ketika tiba-tiba terjaga di tengah malam, baru aku bisa melihatnya berbaring di samping dengan mata yang telah terpejam.

Meski sudah kerja seharian, sikapnya masih sama, perhatian dan lembut. Namun, ada saatnya aku mengamati wajahnya begitu Tedy sampai rumah dan dia terlihat lelah tanpa mau mengakuinya padaku.

Seselah-lelahnya Tedy, terkadang dia membutuhkanku. Aku seperti energi yang membuatnya merasa lebih baik. Kami saling menyayangi dan saling membutuhkan saat sedang bersama.

"Mas, Nita kangen dengan ibu dan ayah, rasanya sudah lama tidak bertemu. Padahal baru beberapa minggu. Mas kapan libur?" tanyaku saat aku belum tidur dan Tedy telah pulang bekerja. Dia sudah membersihkan diri dan berbaring di sebelahku. Bau sabun beraroma lemon menyerbu ke hidungku.

"Mas belum bisa pastiin kapan bisa libur, Dek. Kenapa tidak kamu telepon ibu dan ayah saja biar datang ke sini? Bapak juga akan senang ketemu ayah," kata Tedy yang tidur miring menghadapku.

"Tapi maunya Nita dan Mas yang ke sana. Nita bisa masakin sesuatu buat mereka. Kalau ibu yang ke sini, pasti bawa masakan. Sekali-sekali Nita ingin membuat sesuatu yang bisa diberikan ke mereka."

"Sebelum kita ke sana, kamu bisa belajar masak lagi, Dek. Kalau ada bahan yang kurang, kamu bisa hubungi Mas. Ibu dan ayah pasti akan senang kalau kamu bisa masak yang sangat enak untuk mereka."

"Apa masakan Nita masih belum enak, Mas?" Aku mengerucutkan bibir.

"Enak, kok, Dek. Tapi kalau mau masakin untuk ibu dan ayah, tentu harus yang paling enak. Apalagi ibu sudah dari kamu kecil memasak untukmu. Beliau pasti yang paling bahagia jika kamu pandai memasak."

Begitulah suamiku selalu bisa menenangkanku. Cara Tedy mengutarakan pendapat membuatku makin merasa beruntung bertemu dengannya.

Tedy bekerja di perusahaan mencari nafkah sedangkan aku di rumah mengerjakan sesuatu yang bisa kukerjakan. Hampir setiap hari aku melakukan kegiatan yang sama seperti memasak, membersihkan dapur dan seluruh ruangan, mencuci dan menyeterika pakaian.

Aku semakin terbiasa melakukan kegiatan-kegiatan itu yang sudah seperti makanan sehari-hari. Namun, ada perubahan perasaan selama beberapa hari ini. Sebelumnya, aku melakukan banyak hal agar waktu lekas berlalu dan bisa memiliki banyak kesempatan untuk bercengkerama dengan suamiku.

Hanya saja, kesempatan itu perlahan berkurang yang sedikit demi sedikit melubangi hatiku. Ada yang kosong. Meski kuisi dengan berbagai kegiatan di rumah, melakukan hal yang kusuka seperti membaca buku, tetap saja lubang tersebut belum kembali tertutup.

Aku ingin hari-hariku terisi kembali dengan penantian yang membahagiakan. Ketika lelah melanda setelah beraktivitas seharian, aku ingin mendengar suara suamiku saat sore menjelang, dan mendapatkan berbagai perhatian darinya.

Kuberanikan diri mengungkapkan perasaanku ini kepada Bapak. Tahu goreng isi kutaruh di meja, yang seharusnya kusiapkan juga untuk Tedy, hanya akan menemani kami berdua di ruang tamu. Aku mendapat kabar jika suamiku akan pulang malam lagi.

"Mas Tedy sudah biasa pulang malam ya, Pak?"

"Iya, Qanita. Tedy kalau masih banyak kerjaan bisa sampai malam. Ada apa? Kamu sudah kangen dengan Tedy?"

Aku yakin bibirku sudah menyunggingkan senyum. "Bapak juga sering di rumah sendirian selama Mas Tedy bekerja? Apa Bapak pernah meminta Mas Tedy pulang cepat agar lebih banyak waktu dengan Bapak?"

"Sudah pernah Bapak lakukan. Jika Bapak sedang kurang sehat, biasanya Tedy akan pulang sesuai jadwal. Tedy akan meninggalkan pekerjaan apabila ada hal-hal yang penting dan mendesak. Kamu sedang ada masalah dengan Tedy?"

Aku menggeleng. "Hubungan Nita dengan Tedy masih baik, Pak. Tapi akhir-akhir ini waktu bertemu Nita dengan Mas Tedy jadi mulai berkurang. Mas Tedy jadi bangun lebih siang karena tidur dalam keadaan lelah setelah bekerja seharian. Kadang Mas Tedy pulang dan Nita sudah tidur."

Bapak mengangguk-angguk sambil tersenyum seakan beliau mengerti perasaanku. "Tedy, baik dulu atau sekarang, memiliki kewajiban mencari nafkah untuk keluarga. Dari sebelum menikah, dia sudah memahami hal itu. Bapak pensiun dan Tedy yang menggantikan Bapak untuk mencari rezeki dan memenuhi kebutuhan."

"Apakah Bapak terbiasa ditinggal sendiri?"

"Tentu saja, selama tidak sedang sakit, Bapak di rumah sendiri. Banyak yang bisa Bapak lakukan agar tidak jenuh di rumah saja. Bapak mulai kenal dengan tetangga, kadang mengundang mereka untuk sekadar minum teh atau kopi."

"Nita sudah melakukan banyak kegiatan, tetapi tetap saja belum bisa berhenti memikirkan Mas Tedy. Maksudnya agar Nita tidak terlalu banyak berpikir."

"Tedy sekarang adalah kepala keluarga. Tanggung jawabnya semakin bertambah. Tedy pergi bekerja mencari nafkah untukmu, untuk Bapak juga. Dia tidak banyak mengeluh untuk bekerja dari pagi sampai malam. Dia bersedia melakukan itu untuk orang-orang yang disayanginya."

Aku mulai berpikir setelah mendengar ucapan dari Bapak.

"Sebagai orang yang terdekat dengan Tedy. Kita pun harus bisa saling memahami, jangan hanya mengeluh di satu pihak. Qanita, kamu bisa belajar lagi untuk mengerti keluarga kecil kalian."

Aku menggigit tahu, mengunyahnya dengan rasa yang tidak begitu nikmat. Aku mengerti bukan tahu itu yang hambar, melainkan perasaanku. Jika saja ada Tedy di sampingku, aku bisa bersandar padanya, dia mengusap kepalaku seperti yang biasa dia lakukan. Namun, aku tidak bisa memastikan hal ini akan segera terjadi. Suamiku masih di tempat kerja, menginput dokumen-dokumen yang dia bilang tidak ada habisnya.

Kesibukkan Tedy membuatku harus merasakan kerinduan yang mendalam ini.

Bapak banyak bicara, persis seperti Tedy. Hanya saja, Bapak bukan suamiku. Berbincang banyak dengan beliau, sama sekali belum bisa melegakan perasaanku. Raut wajah pun mirip dengan Tedy, lebih tepatnya suamiku yang mirip dengan beliau. Aku memandang wajah Bapak makin meningkatkan keinginan bertemu dengan Tedy.

Aku tidak tahu ini termasuk rasa cinta atau seorang istri memang akan mengalami perasaan seperti ini ketika suami pergi bekerja.

Sesekali, aku menengok ke pintu, berharap ada suara mobil yang membunyikan klakson tanda meminta dibukakan pintu. Aku akan langsung berlari jika suamiku benar-benar pulang. Namun, aku tahu itu tidak akan terkadi hari ini.

================================

21 November 2021
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja
Dedew Lan Hua
Diikutsertakan dalam FTV Series
Diadakan oleh AnFight

Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang