Aku mulai terbiasa untuk menghadapi tekanan yang terjadi. Sebelum memulai aktivitas di pagi hari, aku melakukan ritme pernapasan. Seharusnya melakukan kegiatan tersebut selama beberapa menit, tetapi aku hanya menjalankan selama dua menit.
Selesai mengerjakan kegiatan, aku lakukan pernapasan lagi sambil duduk. Ketika merasa kesal karena melihat sikap Tedy yang tidak terlalu banyak bicara, aku lakukan juga. Dia jadi diam saat aku sudah lebih bisa memperhatikan kandunganku dan penampilanku.
Aku berusaha menyenangkan diri sendiri, meski aku juga merindukan hiburan dari Tedy. Kami mulai jarang berdiskusi karena suamiku memilih sibuk ketika di rumah. Kadang dia menyetrika pakaian sendiri, mencuci pakaian sehingga aku tinggal menjemur keesokan harinya.
Aku juga sesekali berterima kasih padanya, tetapi tanggapannya sedikit dingin. Tidak hanya dengan berterima kasih, aku juga merangkul tangannya sambil menyandarkan kepala di bahunya. Dia hanya diam tanpa berusaha melepaskan.
Hubungan kami seperti saling membantu, tetapi tidak lagi saling menyatukan pemikiran. Tidak banyak perdebatan yang menaikan emosi kami lagi. Seperti ada dinding, tidak kasat mata, yang menghalangi kami
"Mas, tidak ada yang mau bicarakan sama Nita? Soal pekerjaan atau sikap Nita. Sudah lama kita tidak mengobrol sebelum tidur," ucapku sambil mengangkay kepala memandang wajahnya.
"Tidak ada. Kamu mungkin bosan dengar soal pekerjaan yang begitu-begitu saja. Mas juga mau istirahat. Kamu juga tidur. Tidak baik tidak malam-malam buat kandunganmu."
Percakapan kami juga tidak lagi mendalam. Tidak ada rayuan dari suamiku. Tidak ada nada suara lembut yang begitu menghangatkan hatiku. Kami bersikap biasa, seolah-olah kami sudah hidup bersama bertahun-tahun lamanya.
"Kamu lihat kunci mobil, Mas?" tanyanya ketika aku sedang masak di dapur. Dia tidak mendekatiku dan hanya berdiri di batas antara ruang makan dan dapur.
Aku pun melihatnya sekilas, dan karena pandangannya tidak cerah, aku pun kembali melihat panci berisi air sedang merebus sayuran. "Tidak, Mas. Coba cari di kamar."
Suamiku pun pergi begitu saja. Aku kembali fokus memasak dengan perasaan tidak nyaman. Hampir saja aku memasukkan gula ke dalam sayur karena kurang memperhatikan saat mengambil. Aku menaruh toples gula dengan lesu, lalu mengambil garam untuk kutuangkan ke sayur sesendok teh.
Aku jadi terbiasa dengan diamnya Tedy. Aku mengikuti ritme yang ingin suamiku lakukan. Kami berbicara seperlunya. Aku tidak lagi menarik perhatiannya, tetapi tetap menjaga penampilan untuk diriku sendiri.
Namun, suatu malam kuperhatikan Tedy tampak gelisah. Ketika aku mencoba bertanya padanya, dia hanya menjawab sedang memikirkan pekerjaan. Aku merasa dia tidak mengakui yang sebenarnya karena dia mengelak dari menatapku.
Bahkan ketika sarapan, Tedy tidak terlalu senang menatapku. Padahal aku sudah merapikan penampilanku, meski tidak berdandan karena sedang hamil, tetapi aku merapikan rambut dan memakai parfum di pakaianku. Parfum yang tidak memiliki aroma menyengat.
Suamiku hanya melirikku tanpa berkomentar.
Setelah Tedy berangkat bekerja, Bapak mengajakku berbincang di ruang tamu. Beliau menanyakan kondisi kehamilanku dan kujelaskan jika kondisiku semakin membaik, kemudian beliau mengajakku bicara mengenai suamiku.
"Bapak lihat Tedy beberapa hari ini kurang bersemangat. Apa kamu tahu penyebabnya?" tanya Bapak yang tentu saja aku jawab dengan gelengan. "Bapak pikir kamu tahu."
"Nita tanya dan Mas Tedy tidak mau jujur sama Nita, Pak."
"Mungkin Tedy merasa tidak enak sama kamu. Bagaimana pun kamu kan sedang hamil, dan Tedy tahu kalau kandungan kamu belum kuat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
General Fiction[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...