Pernikahan bukanlah impian, ini salah satu jalan kehidupan yang kupilih untuk dilalui. Ada banyak jalur kehidupan yang tersedia: pekerjaan, pendidikan, pengusaha, pernikahan, dan lain sebagainya. Kita tidak akan pernah melaluinya jika tidak pernah memilih untuk mengambil jalan itu.
Di usiaku yang masih muda dan sedang kasmaran, bisa bersatu dengan pasangan yang kucintai sungguh menjadi momen membahagiakan. Memang sebelumnya aku juga merasa canggung, tetapi Tedy, yang sudah menjadi suamiku, berusaha mengakrabkan diri dengan berbagai cara hingga aku luluh.
Dia bisa membuatku tersenyum dan tertawa.
Dunia mendadak berubah. Ketika bangun tidur, sudah ada seseorang yang bersedia mendampingi hidupku. Kupandangi wajahnya yang masih terlelap. Aku tersenyum malu-malu.
"Kenapa senyum-senyum begitu, Dek?" tanya Tedy yang baru saja membuka mata.
Aku berdebar begitu tatapan kami bertemu. Pandangan yang dekat dan dalam. "Gak ada apa-apa kok, Mas."
Tedy tersenyum, lalu tangan kanannya mengusap kepalaku. "Terima kasih sudah tersenyum di pagi hari. Mas masih tidak menyangka memiliki istri yang begitu cantik."
Jantungku berdetak cepat seakan ingin keluar dari sarangnya. Mata seperti terpasang magnet yang membuatku tidak bisa lepas memandang suamiku.
Perasaan cinta memang tidak memandang usia. Aku jatuh cinta pada Tedy tanpa bisa kucegah. Setelah menikah, rasa itu semakin tumbuh hingga berbunga-bunga.
Tiga puluh menit kemudian, aku sudah menemani ibuku di dapur. Tedy tidak menahanku sehingga aku masih bisa melakukan kegiatan seperti biasa.
Ibu masih libur menerima pesanan katering, tetapi menyiapkan sarapan pagi tetap beliau lakukan. Aku sedikit kesiangan, dan Ibu tidak memarahiku seperti sebelumnya. Justru kali ini, Ibu malah senyum-senyum.
"Suamimu sudah bangun, Nita?" tanyanya sambil memasukkan irisan sayur ke panci berisi air mendidih.
"Sudah, Bu. Sebentar lagi juga keluar mau mandi."
"Kamu buat kopi, gih. Itu sudah ada air panas di termos."
"Baik, Bu. Nita ambil kopinya sama gula juga." Aku mengangguk lalu melenggang untuk membuka lemari kayu di atas, tempat menyimpan kopi dan lain-lain. Aku mengambil stoples kopi dan gula, terus kuletakkan di meja makan. Diriku berbalik untuk membuka lemari bawah dan mengambil dua gelas kosong.
Kedua gelas kutaruh di meja berdekatan dengan stoples. Kubuka tutup stoples kopi dan gula, lalu mengambil sendok yang berada di tengah meja makan. Aku menunduk sambil memasukkan dua sendok bubuk kopi masing-masing ke dalam dua gelas, lalu menambahkan gula. Aku mengangkat kepala ketika menyadari ada seseorang yang datang.
Suamiku berdiri di seberang yang terbatas meja. Dia melingkarkan handuk di leher, memakai kaus tipis dan celana pendek. Melihatnya yang tiba-tiba berada di depanku, tangan terasa tidak bertenaga sehingga sendok masuk begitu saja ke gelas. Pipi seperti memanas, dan senyum seketika mengembang.
"Sedang buat apa, Dek?" tanya Tedy yang melirik benda-benda di meja.
"Buat kopi, Mas. Mas mau kopi pahit atau manis?" tanyaku malu-malu.
"Manis ya, Dek. Tapi jangan manis-manis, biar masih terasa kopinya."
Aku mengangguk mengerti. "Mas mau mandi atau mau nunggu masakkan matang? Kenapa berdiri saja di situ?"
"Mas mau lihat kamu buat kopi."
Aku tersenyum.
Suamiku pun tersenyum lebar, lalu berkata, "Ya sudah, Mas mau mandi dulu. Ibu, titip Nita ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
General Fiction[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...