Udara di mobil terasa dingin. Meski memakai gamis, tangan dan pipiku bisa merasakannya. Ketenangan ini membuat dingin makin mendominasi. Aku bersandar, berusaha untuk terlelap, tetapi mataku sesekali terbuka untuk melihat Tedy yang sedang menyetir.
Kecanggungan jadi memiliki peran di antara kami. Setiap aku ingin mengucapkan sesuatu, dalam pikiranku ada menyangkal jika ini bukan waktu yang tepat, jadilah aku hanya memandang wajah suamiku tanpa berkata apa-apa.
Aku sendiri tidak tahu waktu yang tepat itu kapan.
Kami sepertinya sama-sama memikirkan kebenaran dan kesalahan masing-masing, dan tidak tahu cara memulai untuk mengakui. Namun, aku juga tidak mungkin membiarkan ini berlarut-larut. Sepertinya ketika di rumah aku akan mulai bicara padanya.
Ketika sampai di rumah, aku mulai bicara seperlunya, tetapi belum mengungkit soal genggaman tangan. "Mas, biar Nita yang bawa tasnya," kataku sambil mengambil tas kerjanya yang ditaruh di kursi tengah.
"Iya, Dek," ucapnya tenang. Tedy melepas sabuk pengaman, lalu turun. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi dan pintu tertutup.
Aku pun buru-buru menyusul turun. Sehabis menutup pintu, aku tidak langsung masuk, tetapi berdiri di dekat mobil sambil memperhatikan Tedy yang menutup gerbang dan menguncinya.
"Kenapa masih berdiri di situ, Dek? Masuk." Dia memandangku, dan aku belum menemukan kehangatan di wajahnya yang selalu bisa membuatku nyaman.
Seharusnya aku tersenyum agar membuat kami lebih baik, tetapi pandangan datar itu menghalangi saraf bibirku bekerja. "Iya, Mas." Aku berjalan masuk dan Tedy menyusul di belakangku.
Bapak sepertinya sudah di kamar karena tidak menyambut kedatangan kami.
Kami pun masuk ke kamar, aku menaruh tas di meja, dan Tedy bergegas mengambil ganti, lalu pergi mandi. Dia belum berbicara lagi. Aku pun ikut terdiam.
Saat Tedy mandi, aku membuatkan dua gelas teh manis hangat. Kurasa Tedy hanya lelah setelah bekerja seharian sehingga agak sedikit emosi. Meski aku tidak bermaksud melakukan itu, tetapi sepertinya dia benar-benar tersinggung.
Tedy selesai mandi, dan aku bersiap-siap untuk bergantian. Aku duduk di tempat tidur, menunggu dia mengenakan pakaian agar aku bisa memakai handuknya.
"Mas, di minum tehnya. Biar hangat, tadi di mobil agak dingin." Aku tidak tahu kata-kataku barusan sedikit menyindir atau tidak. Namun, memang saat di mobil aku merasakan kedinginan dan kesepian. Kesepian tidak kusebutkan dalam ucapanku karena itu jelas sangat menyindir.
"Iya, Dek." Dia segera memberikan handuk padaku, lalu aku beranjak meninggalkan kamar tanpa tahu apa yang akan dilakukannya selama aku mandi.
Aku tahu ini hanya bencana kecil ketika kembali ke kamar melihat gelas masih terisi penuh teh. Namun, gelombang-gelombang kekesalan tetap saja sedikit menyesakkan dadaku.
Tedy sudah di tempat tidur, dan terlelap, sedangkan aku menumpuk rasa bersalah karena sikapku sendiri dan karena belum segera mengatakan maaf padanya.
Aku menggantungkan handuk, lalu berbaring di samping Tedy tanpa peduli dengan gelas tehku. Aku juga kehilangan selera untuk meminumnya. Sebelum menutup mata, aku memandang suamiku, memikirkan pagi tadi kami masih baik-baik saja dan sekarang ada sedikit perasaan kesal. Aku tidak ingin kesal, dia suamiku, ini hanya masalah kecil, tetapi tetap saja aku merasa tidak nyaman.
Aku berbalik, memunggungi suamiku, dan kubiarkan air mata bebas dari persembunyiannya sambil berharap besok hubungan kami kembali membaik.
Pagi hari ketika aku membuka mata perlahan dan ingin membalikkan badan, aku merasa seperti ada yang menahan punggung. Ketika otakku sudah bisa berpikir, aku sadar jika Tedy sedang memelukku.
Aku memegang tangannya yang melingkari pinggangku, lalu hendak menyingkirkan tangannya dari situ agar aku bisa bangun. Namun, tangan itu ternyata menahan untuk tetap berada di pinggangku.
"Sudah bangun, Dek," ucap Tedy dengan suara pelan, tetapi terdengar jelas di telingaku karena kepala kami berdekatan.
Aku membuka mata lebar karena tidak menyangka suamiku telah terbangun. "Mas minta maaf karena sikap Mas semalam," ucapnya lembut.
"Nita juga minta maaf, Mas." Aku tidak tahu kekesalanku menghilang ke mana. Sepertinya menguar begitu saja ketika aku tertidur.
Tedy tetap mengeratkan pelukannya sementara aku sudah harus bangun untuk mempersiapkan sarapan. "Mas, kalau Nita tidak turun dari tempat tidur, tidak ada yang akan membuatkan sarapan." Tangangku ternyata masih memegang punggung tangannya.
Dengan enggan, sepertinya, Tedy membiarkan aku mengangkat tangannya. Aku pun duduk dan memandangi suamiku yang masih memejamkan mata. Apa tadi Tedy mengigau? Aku tidak mengajaknya bicara lagi, dan memilih turun dari tempat tidur.
Aku melirik meja, dan kedua gelas telah kosong. Kuulaskan senyum karena begitu yakin jika barusan Tedy benar-benar meminta maaf.
Setelah gelap terbitlah terang, seperti itulah yang terjadi kemarin malam dan pagi ini. Aku tidak bisa menahan senyumku karena mengingat bagaimana kecanggungan kami sebelumnya, dan pelukan hangat pagi ini.
Selesai memasak, aku teringat sesuatu. Tedy belum kelihatan ke belakang untuk pergi mandi. Aku ingin berteriak memanggil namanta dari dapur, tetapi kurasa itu tindakan yang berlebihan dan bisa menganggu ketenangan Bapak. Jalan satu-satunya aku harus ke kamar dan membangunkannya tanpa menaikan nada suaraku. Aku lekas berwudu, lalu kembali ke kamar untuk salat dan memanggil Tedy.
Suamiku masih berbaring, tetapi sudah berpindah ke tengah. Aku lekas menepuk-nepuk bahunya agar dia segera bangun.
Tidak butuh waktu lama, Tedy membuka mata, tetapi terlihat masih agak berat. Pelan-pelan, dia pun duduk, lalu menguap.
"Mas kenapa, sepertinya masih ngantuk banget? Mandi gih, biar seger."
Tedy menatapku, seperti berusaha menerobos masuk ke dalam lalu dia tersenyum. Senyum yang semalam sangat kurindukan. "Mas terbangun tengah malam, terus susah tidur lagi," jelasnya.
Sayang sekali, aku tidak ikut terbangun untuk menemaninya. "Mas mau tidur lagi? Tapi nanti terlambat berangkat kerja, Mas."
Tedy menguap, tidak menjawab lagi, tetapi tubuhnya bergerak menuruni tempat tidur. Dia meninggalkan kamar untuk mandi, dan aku melaksanakan salat subuh.
Kami sarapan seperti biasa, bertiga. Namun, kuperhatikan Tedy tidak begitu nafsu makan dan tidak banyak bicara. Sikapnya seperti ini akibat kurang tidur atau masih kecewa terhadapku? Aku tidak bisa menebak yang tepat, hanya mengira-ngira.
"Mas, masih marah dengan Nita?" tanyaku saat mengantarnya ke mobil.
"Dek, Mas tidak marah sama kamu. Mas hanya sedikit emosi. Maaf ya, Dek, menjelang akhir bulan banyak yang harus Mas selesaikan, jadi Mas juga sedang banyak pikiran."
"Maafin Nita juga ya, Mas. Nita sama sekali tidak bermaksud––"
"Sudah, jangan kamu pikirkan terus. Mas mau berangkat. Kamu baik-baik di rumah."
"Iya, Mas." Aku pun mencium tangannya.
Setelah Tedy berangkat bekerja, perasaanku menjadi tidak tenang. Sudah berbagai kegiatan rumah kukerjakan, tetapi tidak menghilangkan kegelisahan.
Aku pun menghubungi Ibu ketika selesai salat zuhur, memastikan mereka baik-baik saja. Tidak seperti dugaanku, ternyata mereka sangat baik. Aku bersyukur karena tidak terjadi sesuatu dengan orang tuaku.
Sesekali kuperhatikan Bapak, mencari keganjilan pada ekspresinya, tetapi tidak ada yang berubah. Bapak masih bolak-balik ke belakang dan halaman seorang diri. Bapak masih meminta buatkan jus dan meminumnya dengan bahagia.
Orang tuaku baik-baik saja, Bapak sepertinya sehat. Aku jadi menyimpulkan perasaan tidak nyamanku ini karena memikirkan Tedy.
================================
08 Desember 2021
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja
Dedew Lan Hua
Diikutsertakan dalam FTV Series
Diadakan oleh AnFight
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
Aktuelle Literatur[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...