Sesuai janji yang pernah diucapkan, beberapa hari kemudian, Tedy menemaniku kontrol ke dokter kandungan. Dia memakai kaus putih biasa dibalut sweter biru dongker.
Aku sedikit gugup karena ini kali pertama diriku akan memeriksakan kehamilan. Namun, kehadiran Tedy di samping, membuatku merasa lebih tenang.
Dokter perempuan yang sudah memasuki usia empat puluhan mengatakan jika kandunganku sudah beranjak satu bulan, terhitung masa menstruasiku yang sudah lewat. Calon bayi dalam kandunganku belum terlihat jelas bentuknya saat kami melakukan USG.
Aku menyampaikan kondisiku beberapa hari ini, dan dokter menuliskan beberapa resep sambil menyarankan aku menambah bobot tubuh. Kupikir berat badanku sudah bertambah karena selama tinggal bersama keluarga Atmaja, aku makan dengan rutin.
Dokter juga menyampaikan jika aku tidak boleh bekerja sampai terlalu lelah, tidak boleh mengangkat yang berat-berat karena sebelum usia kandungan menginjak empat bulan, janin masih lemah.
Aku memperoleh resep dari dokter, dan kami masih harus bersabar di ruang tunggu untuk mengambil obat. Aku tidak lepas menggenggam tangan Tedy.
"Dek, Mas tidak akan ke mana-mana. Kamu pegang tangan Mas seperti Mas akan kabur saja," protes suamiku yang tidak betah duduk lama-lama. Dia berdiri, berjalan selangkah sampai dua langkah, lalu kembali duduk tanpa membiarkan tanganku lepas.
"Kalau pegang tangan Mas, Nita jadi bisa tenang. Nita sebenarnya ingin cepat-cepat pulang, Mas."
"Tunggu sebentar lagi, Dek."
Aku merasa gemas melihat Tedy yang tidak bisa diam. Dia duduk, berdiri, berbicara banyak hal. Sebenarnya, suamiku yang ingin cepat-cepat pulang. Dia tidak mengambil cuti untuk satu hari, tetapi hanya izin setengah hari. Aku terus memegang tangannya karena ingin menikmati waktu yang diluangkan Tedy untuk menemaniku.
Obat sudah diterima, kami pun meninggalkan rumah sakit. Kami tidak langsung pulang. Tedy mengajakku berbelanja kebutuhan dapur di Duta Buah. Kami membeli berbagai macam sayur dan beberapa kilo buah untuk memenuhi kulkas. Aku sudah menyampaikan keberatan agar Tedy tidak membeli terlalu banyak bahan karena masih ada stok di rumah, tetapi dia menyatakan aku membutuhkan lebih banyak nutrisi.
Ketika sampai rumah, aku langsung ke kamar mandi karena mual kembali melanda. Tedy sudah menunggu di depan pintu begitu aku keluar. "Sedang apa Mas di situ? Mau ke kamar mandi?"
Tedy langsung merangkul bahuku, dan mengajakku duduk di ruang makan. "Dek, masih mual?"
Aku mengangguk.
"Kamu istirahat di kamar saja."
Aku menggeleng. "Nita belum ingin istirahat sekarang, Mas. Nita mau beresin sayuran." Diriku mau berdiri, tetapi Tedy menahan pundak agar aku kembali duduk.
"Biar Mas yang beresin. Kamu tunggu di sini atau Mas antar ke kamar?"
"Nita tunggu di sini saja, Mas."
Tedy pun kembali ke dapur. Dia sudah memindahkan sayur dan buah dari mobil ke dapur, sepertinya dia lakukan saat aku sedang di kamar mandi. Aku mendengar suara plastik bergesekan dengan tangan, suara kulkas terbuka, suara plastik bergesek lagi. Karena penasaran, aku berjalan hati-hati mendekati dapur, aku memandang Tedy dari kejauhan. Sayuran dan buah-buahan berserakan di lantai, sebagian sudah masuk ke kulkas. Dia melakukannya penuh semangat tanpa merapikan isi kulkas terlebih dahulu. Tidak butuh waktu lama, sayuran dan buah memenuhi kulkas seakan benda pendingin itu bisa meledak kapan saja karena kepenuhan.
Aku menggeleng sambil tersenyum. Tidak akan kusalahkan begitu saja Tedy karena sudah membuat sayur-sayur tersebut kedinginan tanpa bungkus, buah-buah menindih beberapa sayur yang sebagian buah seharusnya cukup ditaruh di meja. Akan aku kerjaan ulang begitu Tedy sudah kembali bekerja.
Begitu Tedy bersiap-siap untuk berangkat bekerja, karena pukul satu siang sudah harus di lokasi, aku menyiapkan menu makan siang sekaligus bekal untuknya. Dia sedikit menceramahiku karena sibuk tanpa meminta bantuannya.
Aku hanya tersenyum sambil menaruh tepak yang sudah dibungkus ke meja. Tedy tidak bisa ikut makan siang bersama sehingga aku menyiapkan bekal iu untuknya.
Aku banyak-banyak mengucap syukur karena bisa melihat Tedy begitu perhatian padaku, meski aku tahu dia tidak sepenuhnya rela meninggalkan pekerjaan. Sebelum pergi, dia mengajakku ke kamar dan menyuruhku beristirahat.
"Mas, Nita tidak sakit dan belum ingin tidur," protesku. Namun, Tedy tetap memaksaku agar tiduran.
"Kamu kan abis dari rumah sakit, belanja sayur, lalu masak. Masih ada waktu sebelum zuhur, kamu bisa istirahat, Dek."
Aku tersenyum. "Tapi Nita mau antar Mas ke depan."
"Tidak perlu, Dek. Kamu pokoknya di sini saja. Mas sudah mau berangkat."
"Mas hati-hati." Aku ingin bangun, tetapi Tedy mengecup keningku yang membuatku tidak bisa berkutik.
Dia mengusap rambutku, lalu pergi.
Tedy begitu mampu meluluhkan hatiku sehingga aku yang ingin bergerak jadi terpana di tempat tidur. Beristirahat sebentar tidak ada salahnya, dan aku memilih mengusap perut sambil mengajak bicara calon bayi dalam rahimku.
Meski dia belum bisa membalas ucapanku, tetapi aku yang berbicara membuatku merasa dia benar-benar ada. Calon bayiku hidup. Bicara sendiri juga membuatku senyum-senyum sendiri. Perasaan bahagia yang hadir menjadikanku makin yakin jika janin dalam kandunganku terus hidup.
Beberapa minggu berlalu, aku bisa melewati fase mual yang berganti dengan aku suka camilan. Ketika aku tidak sanggup makan nasi, aku akan beralih dengan kerupuk, kue kering, wafer, atau pun keripik.
Aku meminta Tedy untuk membelikannya, dan dia tidak tanggung-tanggung membeli sekaligus banyak dan berbagai macam. Aku yang awalnya berselera jadi mual melihatnya. Namun, aku menyusun lagi makanan itu agar tidak terlihat semua.
Sampai pada suatu malam, aku yang tertidur setelah isya, bangun pada malam hari. Tedy sudah berada di sebelahku. Aku membangunkannya yang ternyata dia belum tidur terlalu pulas. Kandunganku sudah memasuki tiga bulan dan aku mulai terlihat sedikit menggemuk, terutama perutku.
"Mas, sudah tidur belum?" tanyaku yang masih memunggunginya.
"Kenapa, Dek?" Dari suaranya, Tedy masih dalam keadaan mengantuk.
"Mas sudah mau tidur ya? Kalau begitu, Mas tidur lagi saja." Aku merasa tidak enak jika harus menganggunya.
"Ada apa?" Dia menyelipkan tangan melalui pingganggku lalu mengusap perutku.
Gerakan itu membuatku merasa nyaman karena Tedy sedang menenangkan anak kami yang masih terperangkap di dalam.
"Pinggang Nita bagian belakang keram, Mas."
Dia mengusap pelan pinggang belakangku, tetapi sangat pelan. Dia sepertinya memang sudah begitu mengantuk.
"Mas, kalau sudah mengantuk, tidur saja." Aku justru merasa tidak nyaman karena dia mengusap sangat pelan dan tidak menghilangkan keram yang kurasa.
Tedy tidak bersuara lagi, dan aku harus melakukan sendiri. Tidak hanya keram, tetapi aku juga masih mual dan harus ke kamar mandi. Setelah kembali ke kamar, aku melihat Tedy masih terlelap. Dia mulai lagi mengambil lembur dengan alasan untuk menambah biaya lahiran nanti. Padahal suamiku pernah menjelaskan biaya persalinan akan ditanggung perusahaan.
Aku masih berharap Tedy bisa memiliki waktu lebih dengan keluarga, mengajakku pergi yang berarti menyenangkan janin dalam kandunganku juga, dan memikirkan kondisinya yang bisa drop jika sampai kelelahan.
Sambil memandangi suamiku, aku bersandar dan meluruskan kaki. Tangan kanan mengusap kepala Tedy, tangan kiri mengusap perutku. "Nak, Bapak pekerja keras sekali. Dia senang mencari rezeki. Mari kita doakan Bapak semoga sehat. Ibu sayang sama Bapak, kamu juga harus sayang ya, Nak. Ibu juga sayang padamu. Sehat terus ya, Nak."
================================
16 Desember 2021
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja
Dedew Lan Hua
Diikutsertakan dalam FTV Series
Diadakan oleh AnFight
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
Ficção Geral[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...