Sebelum Tedy pulang, aku masih menyibukkan diri di dapur. Makan malam dengan Bapak telah usai, dan aku pun mulai membersihkan peralatan makan yang kotor.
Tanganku sibuk mengelap piring dengan busa yang sudah terkena sabun, tetapi pikiranku mengarah ke pembicaraan dengan Bapak saat makan.
"Kamu masih memikirkan Tedy, Qanita?" tanya Bapak setelah menenggak segelas air putih.
Aku mengangguk. Tidak banyak yang bisa kuungkapkan karena aku sudah menceritakannya ketika kami sedang mengobrol di sore hari.
"Qanita, Bapak ada di rumah. Jika kamu butuh seseorang untuk diajak bicara, kamu bisa panggil Bapak. Kalau butuh apa-apa, juga bilang. Bapak sudah jadi orang tua kamu semenjak kamu menikah dengan Tedy. Jadi, jangan sungkan."
"Terima kasih. Terima kasih Bapak sudah mau menemani Qanita."
"Qanita, apa yang akan membuat Tedy bahagia? Dia bisa melihatmu tersenyum. Kamu bisa menerima apa yang diberikan, dan meminta sesuatu kepadanya. Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?"
"Ya, Mas Tedy selalu membuatku bisa tersenyum. Aku juga bahagia jika melihat Mas Tedy tersenyum."
"Kalau begitu, kenapa kamu masih bersedih hanya karena waktu bertemu berkurang? Sikap Tedy sama sekali tidak berubah, kan? Jika sikap Tedy tidak lagi sama, kamu bisa cerita sama Bapak."
"Mas Tedy masih bersikap sama. Dia tidak berubah, Pak," jawabku sambil membayangkan bagaimana wajah suamiku saat berangkat dan pulang kerja. Tedy selalu tersenyum tulus dan mampu menghangatkan hatiku.
"Yang hilang hanya waktu di antara kalian berdua. Kamu tidak kehilangan Tedy, begitu juga Tedy tidak kehilangan kamu. Pasti ada saat kamu akan merasa jenuh, tapi bagaimana jika kamu menghargai diri kamu selama Tedy pergi bekerja? Kamu bisa mengurus tanaman, membuat kue, atau melakukan sesuatu yang kamu senangi. Satu lagi, setiap Tedy pulang, sambutlah dia dengan senyuman. Kurangi kalimat yang menuntut karena setelah bekerja seharian, pikiran dan tenaganya terkuras. Bapak tahu dia akan tetap mendengarkanmu, dia tidak akan mengungkapkan sesuatu yang bisa membuatmu cemas. Kamu bisa katakan saat dia tenang."
Sambil menyelesaikan menuci piring, aku merenungkan kembali kata-kata Bapak. Mungkin aku hanya terlalu merindukan Tedy, terbiasa dengan perhatian darinya sampai aku tidak memikirkan jika Tedy bekerja keras untuk memenuhi nafkah untukku dan Bapak.
Aku juga tidak menyadari jika sikap Tedy masih tetap sama, hanya waktu kami bersama yang berubah. Setiap bangun tidur dan hendak mandi, Tedy selalu menyapa juga menghiburku. Begitu juga setiap Tedy pulang bekerja, dia selalu mengembangkan senyum, meski wajahnya tampak lelah, menanyakan kabar.
Ada sesuatu dari perkataan dia yang sepertinya tidak aku pahami, dan baru kumengerti setelah mengingat perbincangan dengan Bapak.
"Dek, saat sedang sendiri di rumah, sebelum kita menikah, apa yang biasa kamu lakukan?" tanya Tedy beberapa waktu lalu sebelum kami tidur.
"Nita biasanya membaca buku, Mas. Buku-buku nonfiksi dan islami," jawabku.
"Apakah kamu mengerti tentang buku-buku? Seperti buku yang best seller atau sedang ramai diperbincangkan."
Aku berpikir sejenak. "Sepertinya Nita tidak begitu paham, Mas. Nita membeli buku yang Nita ingin baca saja."
Suamiku mengangguk, tersenyum, lalu membalas ucapanku, "Apakah kamu merasa senang membaca buku seperti itu? Mas juga suka membaca, tapi biasanya buku seputar bisnis dan perilaku-perilaku seseorang."
"Nita senang membaca, Mas. Kalau sedang membaca, pikiran jadi nyaman dan banyak sekali pengetahuan yang bisa Nita dapat. Tapi Nita bukan penggemar buku karema baca juga tidak setiap hari. Tapi seneng ada waktu buat baca meski hanya sesekali."
"Kamu sudah baca semua yang kamu bawa ke sini?"
"Sudah semua. Kan, buku yang Nita punya juga tidak banyak. Kadang Nita juga suka baca berulang kali."
"Kalau kamu senang, Dek, sering-seringlah membaca. Kamu juga bisa cerita sama Mas, tentang buku yang sudah kamu baca."
"Cerita sama Mas, tapi apa nanti Mas mengerti? Kan, Mas belum baca bukunya."
"Kalau Mas tidak mengerti, kamu yang jelaskan, kan Mas jadi tahu isinya."
Kulirik Tedy sedang senyum-senyum yang sepertinya menertawakan kebingunganku. Dia senang ketika aku bingung.
"Dek, kamu tambahkan buku lagi yang bisa membuat kamu senang membacanya. Banyak membaca berarti mendapat banyak pengetahuan baru."
Kukira saat itu, Tedy hanya menyuruhku menambahkan buku dan aku beranggapan buku yang kumiliki cukup untuk kubaca berulang kali. Maka dari itu, aku pun menjawab, "Nita belum ada rencana menambah buku lagi, Mas. Nita masih senang membaca berulang-ulang buku yang sudah ada."
Tedy meraih pucuk kepalaku dengan tangan, lalu mengusap pelan. "Tidak ada salahnya jika kamu mencari tahu buku yang bagus, Dek. Kalaupun kamu belum punya bukunya, kamu juga bisa bahas sama Mas."
Piring sudah bersih dan tertata di rak, aku lanjut membersihkan kompor beserta meja dengan lap basah. Diriku menyunggingkan senyum sambil menggerakan tangan begitu semangat.
Aku sepertinya baru mengerti maksud dari suamiku yang mengatakan agar aku menambah buku. Tedy bermaksud mengizinkan aku untuk membeli buku baru yang kusuka dan aku meminta padanya
Aku semakin kagum pada suamiku karena begitu memperhatikan. Meski terkadang, Tedy tidak mau mengakui secara langsung. Diriku harus berusaha untuk memahaminya. Mungkin waktu akan membuatku semakin mengerti.
Akibat perenungan yang kulakukan sambil membereskan dapur, aku jadi begitu sabar menunggu suamiku pulang. Aku pun merapikan kamar, menata meja kerja Tedy agar terlihat makin rapi. Tempat tidur aku rapikan lagi, meski sebelumnya tidak begitu berantakan. Aku kebatin dengan pemukul kasur yang biasa Tedy gantung di pintu.
Tidak terasa aku di kamar sampai membuat ruangan tampak lebih bersih. Aku heran sendiri dengan tingkahku. Diriku meninggalkan kamar, lalu ke dapur untuk mencuci tangan. Kumatikan keran, lalu memperhatikan sekeliling, kompor, meja lemari, lantai sudah begitu rapi, tidak ada barang yang menggeletak sembarangan.
Hatiku gembira.
Aku masih menunggu Tedy pulang, tetapi tidak segelisah seperti sebelumnya. Dari dapur, aku beranjak ke ruang tamu. Aku pun duduk di sofa, tidak secanggung kali pertama mengunjungi rumah ini. Kukeluarkan ponsel dari saku celana.
Aku teringat Tedy memberitahuku agar melihat-lihat buku bagus. Tidak ada salahnya juga aku mencoba. Kuketik "buku islami" di kolom pencarian Google. Web yang sering digunakan untuk mencari informasi dengan cepat. Kupilih pencarian dalam bentuk gambar. Hasilnya, aku terpana dengan berbagai judul buku yang menggodaku untuk membacanya. Buku-buku yang penuh dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Aku hanya melihat-lihat karena dari sekian banyak gambar menunjukkan buku tersebut sedang dijual. Aku belum pernah mencari ulasan buku, sepertinya diriku harus meminta bantuan Tedy untuk melakukan itu.
Kegiatan melihat buku-buku ini membuat perasaanku yang sudah baik menjadi lebih baik. Pencarian buku-buku tersebut membuat waktuku berlalu tanpa terasa hingga aku mendengar suara mobil berhenti. Pintu gerbang terdengar terbuka, dan aku membuka pintu rumah. Kuulas senyum sambil melangkah keluar, lalu berdiri menunggu Tedy memarkirkan mobil.
Begitu Tedy keluar dari mobil, menutup pintu, mengunci gerbang, lalu berjalan ke arahku. Aku langsung meraih tangannya untuk kugenggam. Suamiku terheran memandangku, tetapi aku tersenyum lebar. Baru kemudian, dia pun balas tersenyum dengan tatapan penuh kasih sayang.
Kerinduan beberapa hari yang telah kurasakan melebur menjadi rasa sayang yang berlipat.
Tedy juga makin mengeratkan genggaman, lalu mengajakku masuk ke dalam. Tangan kami seperti dipasang magnet, menyatu dan sulit dilepas. Begitu juga hati kami, tidak bisa berbicara, tetapi saling memahami.
================================
25 November 2021
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja
Dedew Lan Hua
Diikutsertakan dalam FTV Series
Diadakan oleh AnFight
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Muda Jelita Menikah dengan Tuan Gila Kerja ✔️
Fiksi Umum[Cerita ini diikutsertakan dalam FTV Series yang diikuti oleh alumni Anfight 2020] Blurb: Qanita Nur Hasna menjalani kehidupan rumah tangga di usia yang masih terbilang muda. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya bertolak belakang dengan ekspektas...