ENAND
Kira-kira umur lima tahun, gue tahu bahwa gue akan mati.
Ikan-ikan koleksi Papa mati karena salah satu pegawai lupa memasang kembali filter di kolam. Kecoak mati karena gue injak pakai sandal. Cacing mati dimakan ayam. Bunga di sekolah mati karena nggak disiram.
Gue udah banyak melihat makhluk hidup mati sebelum itu. Lalu kenapa di umur lima tahun gue baru sadar bahwa nantinya gue juga akan mati?
Karena 'kematian' nggak pernah disinggung dalam topik pembicaraan anak seumuran itu. Topik yang sering dibicarakan dengan kami adalah cita-cita kami kelak. Jadi tentara, presiden, astronot, atau dokter.
Nggak pernah ada yang bilang 'hei, kamu nanti akan mati. Dimasukkan ke dalam liang gelap, lalu ditimbun tanah'.
Nggak pernah. Sampai akhirnya gue menyaksikan Mama yang biasanya berjalan lincah dengan sepatu hak tingginya, berlenggok ke sana kemari sambil mengenakan busana cantik, bahkan yang sehari sebelumnya menyuapi gue potongan buah dari piring di baki sarapannya yang disiapkan pelayan saat beliau sakit..., terbaring kaku dan dimasukkan ke dalam sepetak tanah yang sudah digali dan diberi nisan di ujungnya. Dikelilingi puluhan orang yang sedu-sedan. Dan nggak pernah kembali setelah hari itu.
Itu adalah upacara pemakaman pertama yang gue ikuti secara sadar. Mungkin gue pernah diajak saat prosesi pemakaman Opa dan Oma, tapi gue terlalu kecil untuk tahu bahwa itu adalah prosesi untuk orang mati.
Bertahap setelah hari itu, gue mengetahui fakta-fakta baru lainnya. Seperti proses membuat anak yang membutuhkan usaha cukup mesum, kemudian dilahirkan melalui proses yang sangat menyakitkan dari seorang ibu, sampai bahwa manusia dewasa benar-benar harus bekerja kalau mau mendapatkan uang untuk bertahan hidup.
Oke, mungkin gue udah tahu kalau Papa bekerja dari pagi ke pagi, atau cita-cita yang selama ini digaungkan para guru, itu sebenarnya adalah pekerjaan untuk kita lakukan di masa depan. Tapi gue nggak tahu kalau bekerja ternyata nggak semudah itu. Bahkan ada yang bertaruh nyawa demi melakukannya.
Seperti yang gue dan Sakta lakukan sekarang. Sakta yang bisa saja kecelakaan dan terpental dari motornya sampai mati dan gue yang mungkin akan digorok oleh orang-orang di sini kalau sampai kalah taruhan dan nggak bisa bayar.
Gue menelan ludah ketika Leon menyebutkan angka taruhan yang dipasang, beserta tantangan tambahan untuk para rider malam ini. Tangannya menghitung segepok uang terakhir, lalu memasukkannya ke dalam tas. Nggak ada transaksi via transfer di sini. Semuanya tunai untuk menghindari pelacakan transaksi gelap dari polisi.
"Ada masalah?" tanya Sakta saat gue menghampirinya.
Gue mengedikkan bahu. "Nggak. Cuma kayak biasanya."
Sakta menatap gue agak lama, sepertinya tahu gue menyembunyikan sesuatu. "Ada tambahan apa? Bilang aja."
Gue menghela napas, "kalo lo bisa selesai satu putaran kurang dari dua menit ..., bakal nambah lima juta." Mata gue beralih menatap jalanan yang dijadikan rute malam ini. "Nggak usah lah, Ta," ucap gue, mencegah Sakta untuk mengambil tantangan super bahaya itu.
Di hadapan gue, Sakta terdiam. Matanya terpaku pada ponselnya, seperti membaca pesan entah dari siapa.
"Ceria," katanya, tanpa menunggu gue bertanya.
"Lo bilang dia 'kan, mau ikutan malam ini? Gue nggak bisa bohong kalo dia nanya soalnya."
"Udah." Sakta memasukkan ponselnya ke dalam satu jaket, lalu menutup resletingnya supaya benda itu nggak jatuh waktu dia berkendara. "Dia nanya ini bakalan yang terakhir atau bukan."
"Terus?"
"Gue nggak janji," balasnya sebelum seluruh wajahnya tertutup oleh helm.
Well, Sakta memang butuh uang untuk biaya hidup, di samping ia memang menyukai aktivitas ini. Sementara gue, selama kabur dari rumah, jelas butuh uang juga buat membiayai gengsi supaya nggak minta lagi ke Papa atau ke Arsen.
"Ambil aja taruhannya," kata Sakta dari balik helm, kemudian melesat ke garis start.
Setelahnya, gue berkomat-kamit supaya kesialan nggak berada di pihak kami. Dan anak itu nggak kenapa-napa.
KHAYANA
Cukup banyak pelajaran yang kutinggalkan saat sempat tidak masuk sekolah. Pagi tadi, Pak Faruz, guru olahraga yang mengajar sebagian kelas sepuluh dan sebelas, memberitahuku untuk mengikuti penilaian susulan bersama anak-anak yang mengikuti sesi perbaikan demi mengisi kolom kosong penilaian olahraga. Kata Pak Faruz, jadwal perbaikan hari ini adalah tennis.
Aku berjalan menuju lapangan setelah berganti setelan olahraga tepat setelah bel pulang berdering. Beberapa siswa telah berkumpul dan melakukan pemanasan. Tidak banyak. Dan semuanya perempuan. Aku pun bergabung dan melakukan pemanasan sambil menunggu namaku dipanggil.
Sudah lewat setengah lima, tapi namaku belum juga dipanggil. Beberapa anak melambaikan tangan untuk pulang lebih dulu. Dari sekitar selusin anak yang mengikuti perbaikan, kini tinggal Shasa dan aku. Shasa lebih beruntung karena sekarang adalah gilirannya. Sementara aku berlatih kecil sebelum benar-benar mendapat giliran.
****
Penilaian dasar bermain tennis adalah melakukan serving dengan benar. Sesuatu yang tidak semudah kelihatannya. Dua kali, tiga kali, aku gagal melakukannya. Bukan hanya tidak melewati net, pada percobaan pertama, aku bahkan gagal memukul bola yang kulempar sendiri. Percobaan ke dua dan ke tiga, bukannya memantul tinggi, bola justru menggelinding setelah mengenai racket. Ya Tuhan, siapa yang menciptakan olahraga dengan racket seberat ini? Lenganku rasanya hampir patah mengayunkannya.
Aku mendesah putus asa. Saat itulah Pak Faruz akhirnya mendekat. Alih-alih memberi contoh seperti yang dilakukannya di awal, ia membantuku dengan memegang tanganku untuk membenahi caraku memegang racket.
Aku pun mengikuti arahannya. Namun rupanya tidak sampai di situ. Ada yang aneh dengan caranya membimbingku. Bukannya melepaskan tangannya dan menyuruhku melempar, beliau justru merapatkan tubuhku ke tubuhnya di belakangku. Tangannya yang semula berada di lenganku, merambat turun ke pinggulku.
Tubuhku menegang. Jari-jariku mencengkeram bola dan racket semakin rapat. Sekelebat bayangan yang muncul dalam mimpi-mimpi burukku mulai menghujam kepalaku satu per satu. Membuatku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Ketakutan menjerat setiap sendi dalam tubuhku, juga tenggorokanku yang seharusnya berteriak. Dan aku merasa tidak menapak tanah saat tangan Pak Faruz berusaha menyusup ke dalam kaos yang kukenakan.
Aku sudah pasti tenggelam dalam palung mimpi buruk kalau saja pintu lapangan tennis tidak terbuka dan membuat kotak kesadaranku kembali.
----------------------------------to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
GENANDRA (END)
Teen FictionBagi Khayana, remaja perempuan yang kehilangan minat hidupnya karena dihantui trauma masa lalu, Enand adalah pahlawan. Bagi Enand, si bocah serampangan yang haus pengakuan hingga kabur dari rumah, Khayana adalah satu-satunya orang yang menganggapny...