BAGIAN 32 : Home

11.1K 2K 83
                                    

Home isn't a place, it's a feeling

- Cecelia Ahern


ENAND

Apa sebenarnya definisi sebuah rumah? Bangunan tempat berlindung? Tempat pulang?

Anehnya, gue nggak merasakan keduanya. Nggak jarang gue justru merasa asing saat berada di dalam rumah ini. Gue juga nggak merasakan sensasi "pulang" ketika memasuki bangunan ini.

Ketika sampai di ruang tamu, Kazi yang baru saja keluar dari kamar dengan kimono tidurnya, menyambut kami. Ia berjalan menghampiri kami sembari menjepit ke belakang rambutnya yang kecokelatan.

"Kamu nggak pa-pa, Nand?" sapanya, mencoba menyentuh pipi gue. Gue memalingkan muka, lalu beringsut menuju sofa ruang tamu.

"Okaa-san nanya. Selain harus didikte buat bilang makasih, kamu juga musti didikte buat jawab pertanyaan orang?"

"Enand terlalu ngantuk buat basa-basi." Gue telentang di sofa, memejamkan mata. Menghela napas dan mengembuskannya, lantas mulai bicara. "Jadi langsung aja. Apa yang harus Enand bayar setelah Papa kasih jaminan di kantor polisi tadi?"

"Jadi kamu hitung perkara ini sebagai transaksi Papa sama kamu?"

Gue tertawa, masih menengadahkan kepala. "It's always about dealing, right? Pernikahan Papa sama Mama ada karena transaksi hutang Eyang sama Opa. Kehadiran Kak Arsen, Enand, sama Irene yang Papa anggap sebagai investasi."

Gue menatap Papa. "Bahkan kepergian Mama yang selama ini menghantui Enand sama rasa bersalah..."

Seketika bayangan itu kembali muncul. Waktu itu di sebuah studio tempat Mama akan tampil memperagakan busana dari desainer ternama. Gue menarik Irene dengan buru-buru, hingga kakinya menyeret kabel yang terhubung dengan lighting yang menyorot para pragawati. Mama yang bersiap menuju panggung melihat benda itu hendak menimpa kami. Ia berlari dengan gaunnya yang berkilau lalu menunduk melindungi kami.

Lampu itu menimpanya. Kamera dari segala sisi menyorot aksinya. Untuk pertama kalinya Mama disorot dalam keadaan terjatuh. Beliau menganggapnya sebagai kegagalan dalam kariernya, hingga menyebabkan trauma yang membuatnya tidak bisa berjalan lagi.

Mama berhenti dari modeling. Namun, alih-alih mendampingi dan memberi semangat agar Mama pulih, Papa justru menyalahkan Mama dan bilang bahwa seharusnya Mama berhenti modeling sejak lama. Papa menyuarakan perumpamaan seandainya lampu itu menimpa Irene atau gue.

Kala itu Mama sudah seperti mayat hidup. Mama sering kali bergumam bahwa bagi seorang model, ia mungkin akan mati dua kali. Kematian pertama adalah ketika mereka berhenti untuk menyajikan keindahan di depan kamera.

"It's her choice to leave us. Jangan bicara apa yang kamu nggak ngerti." Suara Papa melempar gue kembali ke masa sekarang.

"Itu terjadi karena Papa yang harusnya di sana, milih ninggalin Mama sendirian! Enand ada di sana. Narik pelatuk dengan ngasih obat itu ke Mama."

Entah sejak kapan emosi gue tersulut hingga kini berdiri di hadapan Papa.
"Bahkan pertunangan Kak Arsen sama Kak Moza juga transaksi. Bukan cuma Enand, Kak Arsen juga muak. Nggak heran kalo dia sampai lari ke Mia."

Papa menampar gue. Membuat Kazi terperanjat dan mendekat ke arah gue.

"Papa bilang, nggak ada gunanya Enand ngritik Papa kalo Enand masih nikmati fasilitas dari Papa. Sekarang Enand udah pergi dari rumah, sempet ngerasain lepas dari Papa. Enand masih nggak berhak ngomong juga?"

"Manner, Enand!" Papa membentak. "Itu yang perlu kamu pelajari dari saudara kamu!"

Gue tertawa miris. "Manner? Enand gini karena nggak mau hal yang terjadi sama Mama keulang lagi."

"Kamu pikir Papa mau?"

"Nggak terlalu masalah 'kan buat Papa? Papa tinggal cari pengganti lagi, se-simple kayak cari pengganti Mama."

Detik itu, ketika melihat tangan Papa terangkat lagi, gue memejamkan mata untuk menerima pukulan.

"Mas!" Kazi berteriak. Dan gue nggak merasakan apapun.

Saat gue membuka mata, tangan Kazi sudah menggenggam pergelangan tangan Papa. Air mata mulai membasahi matanya.

Gue menatap Papa yang menatap gue penuh amarah. "Bahkan, Enand nggak mau hal yang sama menimpa Kazi."

Kemudian, kami sama-sama terdiam. Gue hendak berlalu menuju kamar gue yang entah masih sama atau udah jadi gudang, ketika Papa bersuara lagi.

"Mama kamu... Papa nggak pernah ngelupain dia."

Bullshit! Makam Mama aja selalu kosong. Bahkan di hari-hari peringatan kematiannya, cuma bunga dari gue yang bersandar di nisannya.

"Sama seperti kamu yang sempet nggak mau nerima fakta, Papa juga. Bertahun-tahun Papa menghindari makam Mama kamu. Kenapa? Karena luka itu belum sembuh, Nand. Semua yang Papa lakukan buat kembali berdiri setelah Mama kamu nggak ada, selalu berakhir sia-sia tiap Papa lihat nisan Mama." Papa terus bicara tanpa gue melihat ke arahnya. "Bukan cuma kalian. Papa juga nggak pernah merasa ini mudah."

Di sela-sela Papa bicara, gue meremat jemari untuk meredam entah gelenyar apa. Telinga gue nyeri. Apa yang sedang coba dilakukannya? Playing victim? Atau latihan mengambil hati orang buat kampanye?

"She was suffering. Papa tahu," Papa melanjutkan.

"Salah Papa? Iya, karena Papa nggak kasih perhatian lebih buat Mama waktu itu. Orang dewasa juga bisa salah, Nand. Karena itu Papa butuh kesempatan. Okaa-san, dia sama sekali bukan pengganti. Dia adalah wujud kesempatan buat Papa untuk memperbaiki semua, belajar jadi ayah yang baik. Tapi untuk itu, Papa juga butuh kamu."

Pengakuan Papa mengambang di antara asumsi gue yang mencoba menempatkan kalimatnya di kategori jujur atau bohong. Gue menoleh, mencoba menilai raut Papa.

Namun, gue justru menemukan hal lain. Tangan kanan Papa menggenggam erat tangan Kazi. Seolah separuh tubuhnya bertumpu di sana. Ketika satu tangannya berada dalam genggaman Papa, tangan Kazi yang lain berada di lengan Papa dengan dahinya bersandar di bahu Papa.

Kazi dan Papa. Potret mereka seketika membawa kepingan-kepingan gambaran tentang interaksi Papa dan Mama yang selintas terekam dalam memori kecil gue, yang baru gue sadari sekarang.

Papa dan Mama, keduanya jarang sekali memperlihat interaksi seperti yang gue lihat sekarang. Ketika bertemu di rumah, keduanya jarang sekali terlibat pembicaraan. Yang sering gue temukan adalah saling diam, terkadang bicara seadanya. Bahkan, nggak jarang melalui perantara.

Tetapi Kazi dan Papa, gue seringkali melihat mereka bicara dan berinteraksi sewajarnya suami istri. Dan di hadapan gue sekarang, mereka berdiri saling menguatkan.

Detik itu gue menyadari. Hubungan Papa dan Mama udah nggak sehat sejak lama. Entah siapa yang membuat dinding pembatasan antara mereka. Yang jelas, gue nggak melihat dinding yang sama di hubungan Papa dan Kazi.

"Kalau cara Papa buat memperbaiki ini salah, kasih tau Papa apa yang harus Papa lakukan. Kasih tau apa mau kamu..."

"Kenapa Papa nggak bilang ini ke Mama? Kenapa Papa nggak ngelakuin ini dari dulu?" Gue mundur selangkah. "Sekarang semua udah telat."

Gue berbalik, menuju kamar gue. Terdengar suara Papa memanggil nama gue, mungkin hendak mengejar. Namun, sepertinya Kazi mencegahnya.

Nggak terlalu jelas apa yang dibicarakan mereka setelahnya, karena gue sudah semakin jauh.

-------------------------------to be continued

Keluarga ini....

Sakit banget pasti ada di posisi Enand. Mungkin Papa juga.

Duh, keluarga ini.. yuk ngobrol yang tenang dulu yuk 🥲

GENANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang