BAGIAN 6 : Ibu Peri

22.7K 3K 228
                                    

ENAND

Sementara Irene bertingkah seperti tukang bersih-bersih, Arsen bertingkah seperti polisi yang merazia kamar seorang terduga kriminal. Takut kalau gue menyembunyikan obat-obatan terlarang atau senjata ilegal.

"Sen, kalo yang lo cari obat-obatan atau semacamnya, tuh ada di laci. Obat mencret." Gue masih tengkurap di tempat tidur, menyaksikan dua saudara gue menggeledah kamar.

"Kakak mending balik ke rumah aja deh. Berantakan semua gini," omel Irene seraya memunguti pakaian kotor gue yang berserakan.

"Ini kamar cowok, Ren. Apa yang lo harapin?"

"Seenggaknya nggak kumuh begini. Piring kotor di mana-mana, bungkus mie instan numpuk. Kakak tuh makan mie instan berapa kali sih seminggu?"

Belum sempat gue menjawab omelan adik gue yang cerewet itu, Arsen lebih dulu melontarkan pertanyaan. "Berapa isi rekening lo? Masih aktif taruhan sama temen lo yang suka balap liar itu?"

"Kalau gue nggak ngemis sama lo ya berarti duit gue masih ada," jawab gue. Mengacuhkan pertanyaannya yang terakhir.

"Wisnu baru aja dipindah ke divisi lain. Jadi kayaknya lo nggak bisa minta tolong dia lagi kalau sampai lo berurusan sama polisi."

Wisnu adalah temannya yang bekerja di kepolisian. Selama ini dia cukup membantu, meski Sakta sering protes soal ludah si Wisnu yang sering muncrat ke mukanya setiap kali nolongin kami dan akhirnya pidato panjang lebar soal keselamatan, kasus-kasus geng motor yang sedang marak, dan ceramah umum lainnya.

Kalau aja Wisnu bukan orang yang nolongin dia, Sakta pasti udah nyumpal mulut temen abang gue itu dengan kaos kaki.

Gue mengangguk-angguk. Beranjak dari tempat tidur untuk mencomot martabak manis yang pasti merupakan permintaan Irene kepada Arsen supaya membelikannya untuk gue di perjalanan menuju ke sini.

Sambil mengunyah, gue bicara lagi. "Pindah divisi ya? Terus kapan dia bakal naik pangkat? Siapa tahu dengan begitu definisi ngajak dinner anak sahabatnya bisa berubah. Bukan sekedar ngajak ke minimarket dan beliin Pop Mie."

Arsen menatap gue yang kini berdiri bersandar di dinding. "Nand, it's okay lo udah bisa cari duit sendiri dan nggak pernah ngarepin kiriman dari gue. Meski gue nggak pernah bilang cara lo cari duit itu bener. Tapi lo tetep harus belajar ngehargai orang. Karena kalau enggak ...."

"Karena kalau enggak, lo bakal malu? Bokap lo bakal malu?"

Alih-alih mendengar kelanjutan dari Arsen, gue malah mendapati Irene memeluk gue. "Kak Enand harus janji nggak ngelanggar aturan lagi ya, atau kalau ngelanggar aturan ..., jangan sampai ketahuan. Karena Kak Arsen mau masukin Kakak ke asrama kalau Kakak ditahan polisi lagi."

Gue menatap Arsen.

"Ini kesempatan terakhir yang lo punya. Ke depannya tergantung lo. Berhenti bikin rusuh, atau pindah ke asrama."

"Lo sadar nggak sih makin lama lo makin mirip sama laki-laki itu?"

"Laki-laki itu bokap lo juga. Nggak ngakuin itu nggak akan merubah fakta. Yang ada lo nggak pernah dewasa."

Gue tertawa. "Siapa juga yang mau dewasa kalau tolak ukur dewasa cuma bisa bikin anak."

Ponsel Arsen berdering. Ia meraih benda itu dari saku, kemudian menatap layarnya selama beberapa detik.

"Cewek lo? Angkat aja. Kali aja butuh duit. Gue abis lihat dia ribut sama cowok di club kemarin. Pacarnya yang lain mungkin."

"Jaga mulut lo!"

"Kak Arsen!" jerit Irene waktu melihat Arsen bersiap untuk memukul gue. Irene memeluk gue erat-erat.

Arsen menggertakkan giginya kemudian beranjak keluar untuk menenangkan diri dan menerima telepon. Dari jendela, gue bisa melihatnya mengambil sebatang rokok kemudian menyulutnya.

GENANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang