BAGIAN 7 : Bungkam

18.2K 2.9K 226
                                    

ENAND

"Katanya sakit perut. Kok malah makan bakso pedes banget?" tanya Sakta, yang sudah mengunyah bakso dan menaruh kembali sendok yang baru saja ia gunakan, ke mangkuk Ceria.

Alih-alih menyambut dengan manis, Ceria mendengus. "Bisa nggak? Nggak muncul tiba-tiba kayak setan?"

"Galak amat sih," ucap Sakta yang sekarang menyerang es kelapa muda milik Ceria. "Tapi beneran deh. Kamu nggak apa-apa makan pedes gini? Nanti mencret lho. Aku ogah deket-deket kalo kamu sampe poop di celana," kata Sakta setelah menatap kuah bakso Ceria yang berwarnah oranye karena sambal.

"Ya udah jangan deket-deket." Ceria bergeser menjauh dari Sakta. "Pacaran aja sama Enand. Kalian berdua cocok kok," tandasnya.

"Kalo Sakta nggak mau, ya udah pacaran sama gue aja, Cer!" Gue nyeletuk.

Ceria tertawa, sementara Sakta melotot lalu hendak menginjak kaki gue keras-keras. Membuat gue mengangkat satu kaki dengan cepat. Hilang keseimbangan, gue bertumpu ke meja dan nggak sengaja menyenggol bahu Khayana yang duduk dekat tempat gue berdiri. Keterkejutan membuat Khayana mendongak dan kami bertatapan sekilas sebelum akhirnya dia menunduk lagi.

"Sorry," gue berucap pelan dan dia hanya mengangguk. Tangan kirinya yang semula berada di atas meja, kini bersembunyi di bawah meja, diapit oleh kedua kakinya. Mungkin takut gue senggol atau gue terkam? Ya kali, emang gue Pak Faruz?

"Kok kamu ketawa?"

Gue mendengar Sakta bertanya ke Ceria. Drama masih berlanjut ternyata. Oke..., tim nyimak sambil mencomot kerupuk gado-gado punya Anjani yang sepiring sendiri.

Ceria menatap tajam Sakta. "Kenapa? Nggak boleh?"

Senyum mengembang di bibir Sakta. "Boleh kok..., boleh. Kamu emang udah enakan perutnya?" tanya Sakta sambil mengelus rambut Ceria. Tapi yang dielus malah menjauhkan kepalanya. Sakta pun meremas udara kosong.

Di hadapan Sakta, Anjani tertawa. "Makanya Ta, bedain dong yang namanya sakit perut karena diare sama sakit perutnya cewek lagi dapet."

Sakta menoleh ke arah Anjani, sedangkan gue menoleh dan mencomot kerupuknya lagi. "Lah gimana ngebedainnya? Kan gue nggak ngerasain?"

Anjani menghela napas panjang, gemas. "Ya ditanya dong..." sahutnya, lalu menjauhkan piring berisi kerupuknya dari jangkauan tangan gue. Gue menyeringai ketika ia memelototi gue.

Detik berikutnya gue mendengar Sakta dengan polosnya bertanya ke Ceria. "Jadi kamu yang mana?"

Ceria melahap potongan terakhir baksonya. Mengabaikan Sakta. Entah kenapa kenapa, jadi gue yang deg-degan.

"Pake nanya lagi," sahut Anjani seraya memutar bola matanya.

"Kata lo tadi suruh nanya. Gimana sih? Salah mulu' gue." Sakta kembali menoleh ke Anjani, wajahnya bersungut. Kalau gue jadi Sakta mungkin Anjani udah gue jungkirbalikkan dari bangkunya. Oh, tapi nggak jadi. Ada Khayana duduk di bangku itu juga, melahap bekalnya tanpa dosa.

"Ya kalau modelnya begitu berarti yang nomor dua. Dan kalau cewek lagi dapet, obat mujarapnya cuma dua. Kalau nggak makan ya marahin orang," cerocos Anjani. Sumpah nggak berguna.

GENANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang