BAGIAN 31 : Guardian

10.3K 1.9K 68
                                    

ENAND

Gue memukul satu nyamuk lagi, menggenapi panen gue malam ini jadi sepuluh ekor nyamuk. Gila, sering mengisap darah napi bikin nyamuk sini bawaannya sangar-sangar.

Jam sudah menunjuk hampir setengah tiga. Sialan Arsen! Kalau dia memang nggak bisa datang, biasanya utusannya udah sampai di tempat mana pun gue bikin perkara, tanpa gue nunggu lama gini.

Namun, sampai sekarang gue belum melihat batang hidung orang-orang yang biasa Arsen tunjuk untuk menolong gue. Mulai dari si polisi kere Wisnu, si bersahabat kayak Kak Mone, sampai yang judes kayak Kak Moza.

Apa Arsen dendam sama gue? Makanya dia milih kelonan sama Mia aja daripada repot-repot ngurusin gue? Atau dia lagi sibuk ngurus kerjaan, terus party sama temen kantor sampai teler? Atau dia nyuruh orang tapi tuh orang nyasar? Kecelakaan?

Enough, Nand! Asumsi lo makin lama makin ngeri!

Khayana sudah pulang sekitar satu jam tadi, dijemput Mbak Tania. Sampai sekarang, gue belum ngontak dia lagi. Baterai ponsel gue habis.

Derap langkah terdengar memasuki ruangan. Polisi di hadapan gue berdiri, diikuti polisi di meja sebelah. Memangnya siapa yang datang? Komandan?

Gue menoleh, dan mendapati Papa berdiri di belakang gue. "Papa?" Gue ikut berdiri.

Acuh, Papa mengalihkan wajahnya seolah enggan menatap gue.

Papa mengurai senyum ke kedua Pak Polisi lalu menjabat tangan keduanya. Sementara gue membeku tanpa tahu bisa mencair kapan.

Mereka bicara seperti teman lama. Yang harusnya tegas, jadi melunak. Mereka kenal Papa, itu yang gue lihat. Dan dari percakapan mereka, rupanya mereka udah tahu siapa orang tua gue sejak gue menunjukkan KTP dan SIM. Ditambah lagi nama gue dan Arsen yang nyentrik pake segala bawa-bawa samudera. Sialan!

Dan akhirnya, nggak butuh waktu lama, urusan ini selesai. Cuma gitu aja. Tanpa gue terlibat dan ditanya-tanya lagi.

"Jangan diulangi lagi ya, Nand. Kalo sampai masuk sini lagi, saya tahan kamu di sel paling nggak dua hari biar kamu kapok dan ogah balik lagi," ujar Pak Rizal menepuk-nepuk bahu gue. Senyumnya berseri ke bokap gue.

Setelah basa-basi memuakkan itu kelar, gue mengikuti Papa sampai ke parkiran.

"Aku nggak minta Papa dateng." Gue buka suara sesudah kami tiba di sisi mobil Papa yang terparkir.

"Jadi kamu lebih milih nginep di sel? Atau sekalian di penjara bareng napi?" Papa mengisyaratkan Pak Hadi, supirnya, untuk membuka pintu.

"Masuk," titahnya ke gue.

"Enand bawa motor."

"Lupain motor. Setelah ini kamu nggak butuh itu lagi."

"Maksud Papa apa?"

Rahang Papa mengeras. "Masuk, kita bicara di dalam."

Kalimat itu terdengar tajam dan otoriter. Gue pun masuk tanpa membantah.

Pintu tertutup usai kami berdua duduk di jok belakang. Disusul Pak Hadi yang duduk di kursi kemudi.

****

Jam digital di mobil menampilkan angka tiga. Di langit yang masih gelap, bulan tampak penuh terlihat cukup jernih. Sebuag fenomena langka di langit Jakarta yang pekat polusi.

Tapi, lebih langka lagi apa yang terjadi dalam mobil ini. Gue dan Papa duduk bersebelahan di kursi penumpang. Dini hari pula.

"Setelah sok jagoan di sekolah, terus di rumah orang, nggak mau dijemput sama Papa..., kamu mau jadi jagoan di penjara?"

Itulah pembukaan yang dipilih bokap gue untuk memulai pembicaraan ayah dan anak yang jarang terjadi ini.

"Bukan sok jagoan. Enand punya alasan."

"Alasan?" Terdengar tawa mengejek sebelum Papa melanjutkan. "Apa alasan itu bisa ngeluarin kamu? Kamu masih di sana sampai Papa datang."

Gue diam, menatap ke arah jendela.

"Sebuah alasan nggak bisa ngebela kamu, karena yang mengutarakan adalah kamu. Poinnya adalah siapa kamu, sampai alasan dan pendapat kamu didengar."

"Jadi Enand harus jadi kayak Papa dulu biar didengar?" Ganti gue yang tertawa. Kapan dia berhenti mendewakan dirinya sendiri? Prinsip hidupnya ini makin ke sini bahkan menular ke abang gue.

Alih-alih menjawab, Papa justru menyinggung hal lain. "Selain lupa pulang, kamu juga lupa caranya bilang makasih, Nand?"

Kalimat itu sukses membuat gue tertegun. Seketika gue merasa malu dan kecil.

Gue menunduk, lalu berucap lirih. "Makasih. Makasih udah jemput Enand."

Papa nggak menjawab. Menggantung di udara, ucapan terima kasih itu mempertemukan kami dalam kebisuan setelahnya.

Iya, gue tahu Papa melakukan ini bukan murni untuk gue. Melainkan untuk menjaga nama baiknya sendiri seiring dengan karier politik yang sedang digelutinya. Sedikit cacat di sendi-sendi kehidupan pribadi bisa jadi bumerang baginya.

Namun, gue tetap berterima kasih. Karena bagaimana pun, kepeduliannya terhadap gue didasari alasan bahwa gue adalah anaknya, bagian dari hidupnya.

Mobil meluncur dengan mulus hingga tiba di sebuah rumah besar dengan desain klasik. Patung Artemis menyambut kami begitu mobil memasuki gerbang.

Hawa dingin mulai menusuk. Entah karena ini menjelang subuh, atau memang rumah ini punya atmosfer lain.

Papa lebih dulu melepas sabuk pengaman, sementara gue masih bergeming.

"Okaa-san khawatir sama kamu. Kamu udah lama nggak pulang dan tau-tau ada di kantor polisi."

Okaa-san, itu adalah sebutan yang Papa ajarkan pada kami untuk memanggil istrinya yang berdarah Jepang, yang artinya adalah Ibu. Sengaja memang, supaya nggak menyamai panggilan kami untuk mendiang Mama.

Namun, alih-alih menyebutnya dengan panggilan Ibu atau semacamnya, sampai sekarang kami lebih nyaman memanggilnya Kazi. Aneh aja manggil perempuan yang umurnya cuma selisih tiga atau empat tahun dari Arsen dengan sebutan itu.

Gue melepas sabuk pengaman. Entah siapa lagi yang tahu soal ini. Irene? Semoga aja dia masih tidur.

-------------------------------to be continued

Enand si tukang bikin masalah. Sebenarnya apa yang tersembunyi di balik sikapnya itu?

GENANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang