BAGIAN 24 : Remuk

13.5K 2.2K 558
                                    

ENAND

Roda motor gue nyaris membentur dinding pembatas parkiran rumah sakit.

Setelah mendapat kabar dari Ceria bahwa Khayana nggak masuk sekolah karena nyokapnya masuk rumah sakit lagi, gue buru-buru bertolak ke tempat ini selepas bel pulang sekolah. Sambil berjalan masuk, gue menelpon Khayana.

"Khayana, kamu di mana? Aku lagi di rumah sakit sekarang." Gue bicara begitu nada sambung berhenti.

Khayana memberi petunjuk tempat nyokapnya dirawat dengan suara parau, membuat dada gue mencelos.

Gue pun mempercepat langkah. Menyusul suster yang tengah mendorong kursi roda, nyaris menabrak dokter yang sedang lewat, dan memaksakan diri untuk masuk dan berdesakan di lift yang sudah penuh. Semua agar bisa menemui Khayana lebih cepat.

Ketika akhirnya melihat Khayana di lorong rumah sakit, gue segera berlari menghampirinya. Wajahnya tampak pucat.

Gue mengusap rambutnya. Sebenarnya gue hendak protes kenapa untuk urusan seperti ini, gue malah tahu dari orang lain. Namun melihat keadaan Khayana sekarang, kalimat protes itu tenggelam begitu saja.

"Gimana keadaan nyokap kamu?" tanya gue akhirnya.

"Diabetesnya komplikasi. Ibu sakit lambung juga, sampai buang air besar keluar darah. Trombosit turun. Tapi semalem udah di transfusi darah. Tinggal nunggu ngelewati masa kritis," katanya.

"Kalo kamu? Kamu nggak tidur semalem?" Gue menangkap lingkar sekitar matanya yang menggelap.

Khayana menggeleng lemah.

Gue menghela napas berat. "Udah makan?"

"Udah," jawabnya. Lalu detik berikutnya, Khayana meraih tangan gue. "Maaf aku nggak sempat ngabari kamu."

"It's okay," gue menyambut tangannya lalu mengusapnya untuk memberikan sedikit ketenangan.

"Keluarga kamu lainnya nggak kamu kontak?" tanya gue.

"Aku nggak ada keluarga lagi, Nand." katanya. "Ada sih keluarga jauh, tapi nggak di Jakarta juga."

"Jadi kamu sendirian dari semalem? Kenapa nggak ngabarin aku aja?"

Saat gue mengatakan hal itu, gue merasakan Khayana meremas tangan gue.

"Ada ayah tiriku."

Seketika tautan tangan gue di tangannya terlepas. "Maksudnya?"

Khayana menunduk. "Ayah tiriku datang buat tanda tangan form persetujuan."

Gue menatap Khayana nggak percaya. "Kamu nggak ngabarin aku, dan malah si bangsat itu yang pertama kali kamu hubungin?"

Tanpa sadar suara gue meninggi, membuat orang-orang yang lalu lalang menoleh.

Khayana menatap gue. "Ibu butuh banyak transfusi darah. Aku nggak tau harus minta tolong siapa lagi. Aku nggak pegang uang sama sekali, Nand."

Ck! Gue berdecak. Sejak tadi gue masih bisa nahan untuk nggak protes karena nggak dilibatkan dalam situasi krusialnya. Tapi saat Khayana lebih memilih melibatkan bajingan keparat itu, gue nggak bisa terima.

"Terus aku kamu anggep apa, Na?" suara gue mendadak parau karena sesak.

"Nand, aku nggak mungkin ngelibatin kamu dalam hal ini."

"Kenapa? Karena aku bukan siapa-siapa buat kamu?"

Khayana menggeleng. "Bukan gitu. Aku cuma--"

"Cuma apa, Na? Kamu nganggep aku nggak mungkin bisa nolong kamu, 'kan? Kamu bikin aku ngerasa makin nggak berguna, tau nggak?!"

GENANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang