BAGIAN 5 : Emotion

25.9K 3.3K 330
                                    

ENAND

"Kenapa lo nggak nolak kayak gini waktu dia ngelecehin lo tadi? Kenapa lo diem aja?"

Dia terdiam. Bener 'kan? Kenapa dia nggak meronta-ronta atau kabur kayak gini aja tadi? Satu gagasan akhirnya meluncur dari mulut gue. "Karena lo juga menikmati?"

Satu detik...

Dua detik... dan...

PLAK!

Dia melayangkan tamparan yang sepertinya sekuat tenaga. Sial! Gue menatapnya, lalu dia balas menatap nyalang, kemudian berbalik meninggalkan gue.

Gue terdiam sesaat. Mengelus pipi yang masih terasa panas sambil menatap punggung cewek itu. Seketika gue menyadari betapa dia sedang terguncang. Dan..., good job, Nand. Kalimat lo tadi makin memperburuk keadaan.

Saat sebuah bus berhenti di pos pengumpan depan sekolah dan mendapati cewek itu menaikinya, gue langsung berlari menyusul.

****

Kami berada di dalam Trans Jakarta. Seketika gue melupakan motor gue yang masih terparkir di sekolah, sementara gerbang cuma dibuka sampai jam lima.

Sok pahlawan memang. Nggak ada yang nyuruh untuk naik bus yang bukan jurusan gue. Bahkan si cewek yang gue khawatirkan pun nggak berharap gue temani. Wajahnya masih cemberut alih-alih senang.

"Yang belum transaksi," si kondektur laki-laki dengan muka penuh jerawat menghampiri gue.

"Ah ehm..." Gue merogoh saku untuk mencari dompet. Tanpa tahu berapa tarifnya, gue mengambil selembar uang lima puluh ribuan dari sana. Sisa dari uang taruhan yang gue ambil semalam.

"Uang kecil ada? Cuma tiga ribu lima ratus," kata si kondektur.

Tiba-tiba, cewek yang menjadi alasan gue nyasar di tempat non familiar ini, menyodorkan pecahan goceng dan dua ribuan.

"Dua," katanya.

Antara malu dan putus asa, dalam adegan ini gue makin nggak yakin siapa yang ngebantu siapa. Kondektur itu pun pergi. Melanjutkan aksinya ke penumpang lain. Keheningan kembali membungkus kami.

Gue melirik cewek di samping gue. Kami duduk bersebelahan, kebetulan tempat duduk khusus perempuan sudah full terisi. Sementara bangku baris belakang lumayan longgar. Beberapa penumpang bergantian naik turun setiap kali bus berhenti di halte. Sebagian pekerja, sebagian lagi anak sekolah.

"Sorry." Gue berkata lirih. Nggak berani mengucapkannya lebih keras.

Tentu saja dia nggak menjawab. Terlihat dia merapatkan tasnya ke dada, tampak kedinginan. AC bus ini memang agak lebay. Dan sebelum gue mati gaya atau kehilangan nyali lagi, gue melepas jaket dan menyampirkan ke tubuhnya yang cuma mengenakan kaos dan celana olahraga pendek.

Gue mengira dia bakal melepas dan membuang jaket gue. Tapi, yang gue lihat justru lebih horror dari itu. Terlihat gerakan tangan ke arah sudut matanya. Duh, dia nangis. Gue harus apa?

Dan belum sempat gue menemukan solusi atau berbuat salah lagi yang nantinya berujung ke tamparan ke dua, bus berhenti. Pintu berdesis terbuka dan cewek di samping gue sekonyong-konyong berdiri menuju pintu keluar. Gue buru-buru menyusulnya.

Kami sama-sama berjalan. Gue menjaga jarak dua sampai tiga langkah di belakangnya. Tahu gue masih mengikutinya, dia menghentikan langkahnya ketika sampai di gerbang rusun.

Gue tahu rusun ini. Ini adalah tempat tinggal Sakta bersama pamannya.

Saat gue tengah memperhatikan bangunan itu, dia berbalik dan menatap gue. Sambil menghela napas agak panjang, dia berniat melepas jaket yang gue berikan.

GENANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang