ENAND
Malam ini, Kazi mengingatkan gue untuk mulai berkemas agar besok bisa langsung berangkat ke asrama. Gue mulai membuka koper dan lemari.
Gue mulai memilah baju dan memasukkannya ke dalam koper. Tanpa sengaja, gue menemukan kaos yang terletak di deretan bawah. Kaos dengan corak warna-warni, hasil dari eksperiman DIY Ceria.
Gue dan Sakta masing-masing mendapatkan satu. Gue udah jarang mengenakannya. Terakhir kali, mungkim saat field trip ke Jogja beberapa bulan lalu.
Ah ya, field trip berujung sanksi untuk gue dan Sakta. Kala itu adalah jam bebas. Gue yang baru saja keluar dari kamar, mendapati Sakta tengah berkelahi dengan dua anak. Maka detik itu juga, tanpa tahu duduk perkara maupun awal mula perkelahian itu, gue langsung ikut serta menghajar salah satu lawannya, agar perkelahian imbang.
Baku hantam pun nggak terhindarkan. Setelah sama-sama diamankan oleh guru dan Sakta akhirnya memberikan keterangan, rupanya emosi Sakta terpancing karena Sonny dan Dirga, lawan berkelahi kami waktu itu, sengaja menyemprotkan air dari selang yang bocor ke arah Ceria dan membuat bajunya basah dan transparan. Hal itu membuat apa yang ada di dalamnya terekspos di tengah-tengah kerumuman. Wajah Ceria yang tampak begitu malu dan hendak menangis membuat Sakta menyuruh cewek-cewek yang ada di sana mengantar Ceria ke kembali kamar dan menutupi tubuhnya, sementara Sakta yang geram langsung menghambur ke kedua anak sialan itu untuk menghajarnya.
Andaikan gue ada di sana lebih awal, pasti babak belur mereka lebih parah dari ini. Entah kenapa gue jadi ingin membawa serta kaos pemberian Ceria ke asrama. Pertemanan kami begitu dekat. Saking dekatnya gue bahkan nggak peduli siapa yang salah dan siapa yang benar kalau itu menyangkut Sakta maupun Ceria.
Gue hendak mengambil baju lagi, ketika ponsel gue berbunyi. Ceria melakukan panggilan video.
Kening gue berkerut ketika alih-alih Ceria, justru Sakta lah yang muncul.
"Kok muka lo, Ta? Nggak ngenakin banget. Ceria mana?"
"Nih..." Sakta mengarahkan kamera ke arah Ceria yang tengah menekuri bukunya. Keduanya sedang berafa di restoran McD. "Nyuruh gue nelpon lo dari tadi, tapi dianya sendiri nggak mau ngomong. Ngambek!"
Mau nggak mau, gue merasa nggak enak. "Dia bilang, katanya lo mau ngikut kuliah sama dia? Kok malah masuk asrama sekolah itu dan lanjut kuliah di sana juga?"
Well, sekolah dan asrama yang dipilih Papa dan Arsen adalah sekolah, yang sebagian besar siswanya memang diarahkan ke perguruan tinggi milik yayasan itu juga.
"Coba arahin kameranya ke dia, gue mau ngomong..."
Sakta pun mencolek lengan Ceria agar mau mendengarkan gue. Wajahnya cemberut. Bikin gue deg-degan mau ngomong apa.
Saat gue sudah siap untuk bicara, yang terdengar lebih dulu justru suara Ceria yang tiba-tiba mencerocos.
"Kak Arsen tuh gimana sih? Masukin lo ke asrama biar lo nggak berantem lagi? Nggak gitu dong logikanya. Kalo lo di asrama, terus malah berantem sama temen sekamar atau gedung lain, bahkan guru, gimana? Sama aja dong! Malah nggak ada yang ngingetin lo belajar, karena nggak ada gue! Pusing gue mikirinnya... nggak jadi ngefans ke Kak Arsen deh!"
Di sampingnya, Sakta nyeletuk. "Ngapain juga ngefans jauh-jauh ke kakaknya Enand. Di sini ada yang lebih pas untuk dibucinin."
"Ya kamu lulus NYU dulu sana! Biar setara sama Kak Arsen." Ceria berdecak. "Boro-boro NYU, kamu ujian aja masih remidial."
Gue menggaruk kepala. "Gue juga nggak mau pindah. Tapi..."
"Di asrama boleh pegang alat komunikasi 'kan? Nggak kayak asrama tentara atau pesantren 'kan? Lo bisa ngabarin kita 'kan?"
Gue menghela napas, makin nggak tega. "Iya, Cer... gue pasti kabarin kalian."
"Janji..."
"Iyaa..."
Dan obrolan kami pun berakhir setelah beberapa kalimat. Berjarak nggak lama dari gue menutup obrolan, Khayana mengirimi gue pesan.
Khayana :
Aku lusa baru mau pindah. Kamu jadi berangkat besok?
Alih-alih membalas, gue memilih menelponnya.
"Dianter siapa?" Gue memulai pembahasan setelah sebelumnya mengucapkan kalimat pembuka.
"Taksi online mungkin? Nggak banyak kok bawaannya."
"Minta temenin Sakta atau Ceria ya? Nanti biar aku juga bilang ke mereka." Gue menghela napas. "Maaf nggak bisa nemenin."
"Nggak pa-pa. Aku harus bisa berbuat sesuatu tanpa bergantung sama kamu 'kan?"
It hurts, hearing that phrase. Tapi gue tersenyum. Setelahnya, ada jeda sejenak.
"Nanti pas nyampe kasih lihat aku gimana kamarnya ya, terus ceritain suasana sekolah kamu, temen-temen kamu..."
Gue menelan ludah getir, mendengar satu demi satu permintaannya.
"Kamu pulang berapa lama sekali? Kamu nggak dikurung kayak tahanan yang nggak bisa kemana-mana 'kan?"
Jemari gue meremas ponsel. Kemudian berdehem untuk mengatur suara.
"Iya. Kamu nggak usah khawatirin aku."
Seketika terlintas sesuatu di benak gue. Cukup krusial.
"Na, Tante Ning punya suami?"
"Ada."
Seketika gue merinding.
"Anak laki-laki?"
"Iya."
Gue menelan ludah.
"Tapi... kamar anak-anak kos jauh terpisah sama rumah dia 'kan? Kosnya campur? Ada penghuni cowok?"
"Sebenernya campur, tapi lagi full cewek sekarang."
Gue menghela napas lega.
"Hati-hati ya, selalu kunci kamar. Kamu... udah nggak takut kalo di kamar sendirian?" tanya gue lagi.
"Aku lagi berusaha."
"Kabari aku kalo ada apa-apa." Gue menggeleng. "Enggak. Pokoknya selama kamu ngerasa takut atau apa, jangan ragu buat nelpon aku ya? At least we can talk, jadi kamu nggak kebayang hal yang bakal nyakitin kamu."
Terdengar helaan napas dari sana. "Kita bisa 'kan, Nand?"
"Selama kita masih ngejalaninya sama-sama, meski nggak satu tempat... semua bakal lebih ringan."
Di ujung sana, Khayana terdiam sebentar.
"Khayana?"
"I love you," ungkapnya. Yang membuat dada gue menghangat, tapi juga perut yang bergejolak.
Dan gue membalas dengan kalimat serupa. Meski yang gue rasakan, mungkin berlipat-lipat lebih besar.
--------------------------------to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
GENANDRA (END)
Ficção AdolescenteBagi Khayana, remaja perempuan yang kehilangan minat hidupnya karena dihantui trauma masa lalu, Enand adalah pahlawan. Bagi Enand, si bocah serampangan yang haus pengakuan hingga kabur dari rumah, Khayana adalah satu-satunya orang yang menganggapny...