ENAND
Coba sebutin lomba yang lebih merepotkan dan nggak berguna selain lomba menghias kelas. Kalau mau kelas nyaman..., tinggal kasih sofa, wifi super cepat, kulkas, microwave, atau dispenser. Pasangin poster KPOP juga nggak pa-pa kalau gambar idol bisa meningkatkan mood belajar anak-anak di kelas.
Kenapa harus dihias-hias pakai balon, pita tempelan, dan origami burung-burung kertas? Emangnya ini kelas anak TK?
Oke, katanya biar ulang tahun sekolah lebih meriah. Hey..., rangkaian acara HUT sekolah kebanyakan outdoor! Dengan spanduk-spanduk yang udah disiapkan anak OSIS. Terus kenapa gue yang nggak ikutan organisasi apa-apa ini, harus terjebak sampai malam di kelas cuma untuk belajar melipat kertas dan meniup balon?
Gue memberikan balon terakhir kepada Diandra, salah satu pengurus kelas. Mulut gue rasanya udah terpisah dari raga saking banyaknya balon yang gue tiup. Entah kenapa cewek-cewek pada terobsesi meraih gelar juara untuk kelas tercantik. Mereka yang terobsesi, tapi para cowok yang dibikin susah.
"Udah ya. Lo suruh niup lagi, pingsan gue. Lo tanggung jawab kasih napas buatan," kata gue.
"Niup balon segitu banyak, pikiran kotor lo masih nyangkut aja di kepala ya Nand? Gue kira udah pindah semua ke balon," balas Diandra, bersiap pulang juga karena jam sudah menunjuk pukul setengah tujuh malam.
"Lo kira kepala gue bak mandi, isinya bisa dikuras?"
Gue meraih tas ransel, lalu menoleh ke Sakta yang baru saja turun dari meja. Ia juga salah satu korban obsesi para cewek, dengan diminta memasang untaian burung-burung kertas untuk dipasang menjadi layaknya tirai di jendela. "Yuk balik, Ta! Jangan rajin-rajin, nggak digaji lo di sini," celoteh gue yang langsung mendapat sorakan, nyinyiran, atau bahkan kutukan dari cewek-cewek.
Sakta memeriksa ponselnya sebentar, lalu menyusul gue keluar. "Ceria juga baru kelar, gue nyamperin dia dulu."
"Gue ikut deh. Mau liat kelas dia seheboh apa. Jangan-jangan dia naroh barongsai deket meja guru."
Sakta tertawa. Kami pun menuju kelas Ceria yang berjarak dua kelas dari kelas kami. Sesampainya di sana, gue dikejutkan dengan replika Dora yang bediri di dekat pintu.
"Buset, kelas lo mau dijadiin studio syuting Dora The Explore?" tanya gue saat Ceria menyambut Sakta di ambang pintu.
"Hih, orang nggak paham seni diem aja deh!" gerutunya, kemudian bergeser sedikit karena posisinya menghalangi beberapa anak yang hendak keluar.
"Eh, Khayana! Lo pulang naik apa? Busway yang ke arah rumah lo masih ada?" tanya Ceria, begitu Khayana lewat di dekat kami.
"Ada kok. Kloter terakhir 20 menit lagi," jawab Khayana.
Tiba-tiba gue rasakan ada yang menarik-narik lengan seragam gue. Gue menunduk ke kiri, lalu mendapati Ceria berbisik. "Anterin gih."
Gue menatap Ceria heran. "Anterin pake motor? Emangnya dia mau?" Gue bertanya balik tanpa repot-repot mengecilkan suara.
Ceria memutar bola matanya, kemudian menoleh lagi ke Khayana.
"Mau pulang bareng Enand nggak? Udah malem 'kan," ajak Ceria, seolah dia adalah gue. Dan gue adalah dia. Dan gue pasti setuju. Ya, emang kebanyakan setuju-setuju aja sih. Tapi tetap aja inisiatifnya ini membuat gue melongo.
Khayana, dia menggeleng dan tersenyum lembut. Jiah, lembut. Ya emang lembut. "Nggak usah, Cer. Masih aman kok, bareng orang pulang kerja jam segini."
Dia pun akhirnya berjalan mendahului kami. Gue punggungnya yang berjalan menyusuri lorong.
KAMU SEDANG MEMBACA
GENANDRA (END)
Teen FictionBagi Khayana, remaja perempuan yang kehilangan minat hidupnya karena dihantui trauma masa lalu, Enand adalah pahlawan. Bagi Enand, si bocah serampangan yang haus pengakuan hingga kabur dari rumah, Khayana adalah satu-satunya orang yang menganggapny...