ENAND
Dua hari yang katanya merupakan jatah waktu untuk merenung dan menyesali perbuatan itu akhirnya berakhir. Untuk skors kali ini, gue nggak menambah jatah dengan bolos satu hari. Ya, kemarin Irene mengingatkan supaya gue masuk tepat waktu.
Selama 'liburan', alias belajar di rumah, gue memanfaatkan waktu untuk mengulik informasi tentang Khayana. Berbekal info dari Ceria, gue berhasil bertanya ke salah satu mantan teman sekelas Khayana waktu SMP dan kelas sepuluh.
Ia bilang, dulunya Khayana nggak seperti ini. Semua berubah setelah Khayana sempat izin nggak masuk sekolah selama berminggu-minggu, di awal kelas sepuluh. Namun, karena sosoknya yang ceria belum banyak dikenal di masa awal sekolah, alhasil sosok seperti inilah yang banyak dikenal oleh anak-anak. Khayana yang pendiam dan anti laki-laki.
Anggapan itu juga didukung oleh postingannya di media sosial, yang seperti mati sejak dua tahun lalu. Dada gue terasa sesak. Apakah peristiwa itu terjadi saat dia kelas sepuluh?
Pikiran itu membebani gue hingga pagi ini. Gue berjalan gontai menuju kelas. Beberapa anak langsung bersorak ketika gue sampai di depan pintu kelas.
"YES! Enand masuk! Pas 'kan berarti tim kita?" seru Ronald, yang sejak semalam ribut membahas turnamen futsal antar kelas.
"Kalo menang hadiahnya apa, sih? Bayaran gue main lebih gede dari hadiahnya kayaknya," balas gue.
"Sok banget lo. Kayak bisa masukin aja," ledek Sakta, yang juga ada di sana.
"Hadiahnya emang nggak seberapa. Tapi kalo satu kelas nggak ada perwakilan, bakal kena denda."
"Yaelah. Duit mulu'."
"Makanya main aja nanti," kata Sakta. "Lo bayar kosan aja megap-megap, masih ditambah bayar denda ginian."
"Bayar tukang pijat juga mahal kalo sampe gue tepar," kilah gue. Malas banget. Kayak nggak ada yang lain aja!
Gue hendak mengelak lagi, ketika pandangan gue nggak sengaja menangkap seorang cewek yang tengah berjalan di koridor sambil membawa map.
Khayana.
Gue menelan ludah, bersamaan dengan lidah gue yang mendadak kelu.
Khayana melangkah lurus. Mungkin dia akan menuju ruang guru. Jalan terdekat dari kelasnya ke ruangan itu adalah lewat kelas gue.
Ia berjalan..., sampai akhirnya manik matanya menangkap keberadaan gue. Seketika langkahnya, kemudian berbalik.
Gue yang udah nggak tahan dengan kerenggangan ini, langsung mengejarnya. Dalam hitungan detik, gue sudah berhasil menyusul dan berpindah posisi di hadapan Khayana.
Mendapati tubuh gue yang tiba-tiba muncul memenuhi lapang pandangnya, membuat Khayana buru-buru berhenti dan menunduk. Kakinya segera bergeser ke kanan untuk mengambil celah melewati gue. Namun, gue segera mengikutinya dengan bergeser ke arah yang sama. Khayana terdiam. Tangannya meremat tepian map yang dipegangnya.
"Ikut gue bentar," kata gue.
Nggak ada jawaban. Justru ia mulai bergerak lagi. Kakinya melangkah ke samping untuk mengambil celah yang lain. Namun, lagi-lagi gue menghalanginya. "Khayana, kita perlu ngomong."
Lalu tiba-tiba.... "KRIIIING!" suara bel menyeruak.
"Udah waktunya masuk." Khayana bersuara. Lalu berusaha mencari celah lagi.
"Please... sebentar aja. Gue bisa gila kalo lo diemin gue gini lebih lama lagi."
Khayana mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kemudian menatap gue. "Ke mana?" tanyanya.
****
Angin berembus kencang saat gue dan Khayana sampai di atap gedung. Awan mendung terlihat menggantung, membuat terik matahari sedikit terhalang. Burung-burung yang sempat hinggap di sisi kabel-kabel yang menjulur di salah satu sisi atap, beterbangan saat mendengar langkah kami.
Gue memandang sekitar dengan napas tersengal. Cuma ada gue dan Khayana di tempat ini, atap lantai tiga.
Sebenarnya gue nggak berniat membawa Khayana ke sini. Tapi saat melihat anak-anak yang masih melimpah ruah di koridor dan gue nggak menemukan sudut untuk gue bisa bicara sama Khayana dengan tenang, satu-satunya tempat yang gue pikirkan adalah atap.
Gue berbalik menghadap Khayana, yang sedari tadi berada di belakang gue. Dan saat itu pula kakinya melangkah mundur. Tangannya memeluk mapnya rapat-rapat di depan dada. Membentuk gestur waspada dan protektif.
Hal itu jelas membuat gue ngilu. Apa gue segitu bahaya dan menakutkan buat dia? Di matanya, sebegitu mirip kah gue dengan ayah tirinya?
Gue menelan ludah getir, mencoba bicara. "Jujur gue nggak tahan lihat lo kayak gini."
Mendengar itu, Khayana meremat tangannya yang mungkin sudah berkeringat karena khawatir. Dalam diamnya, ia menunduk semakin dalam. Meski begitu, gue bisa melihatnya menggigit bibir bawahnya.
Perlahan, gue mendekat.
Lagi-lagi gue menangkap gerakan mundur dari kakinya, seiring gue melangkah maju.
"Na, denger." Gue menghela napas. "Kejadian waktu itu--" Bangsat! Entah berapa kali gue mengutuk diri gue atas kejadian itu. "Gue tau maaf aja nggak cukup buat ngehapus semuanya. Lo boleh marah. Lo boleh jauh-jauh dari gue kalo itu emang bikin lo ngerasa nyaman. Tapi gue tetep nggak bisa biarin lo gini terus. Gini, gue kenal psikolog, temennya Arsen. Kalo lo mau--"
"Gue nggak gila, Nand!" Khayana memotong kalimat gue. Dengan kata lain, akhirnya dia bersuara. Wajahnya yang tadi menunduk, kini terangkat. Membuat mata kami bertemu.
"Gue tau. Gue nggak pernah nganggep lo kayak gitu."
Khayana menggelengkan kepalanya. Wajahnya pucat.
"Khayana, konsultasi ke psikolog atau psikiater bukan berarti lo gila." Gue berhenti sejenak, menatap keringat yang muncul di pelipisnya.
"Coba gue tanya sama lo." Gue mulai menyambungkan rangkaian puzzle yang selama ini bertebaran.
"Luka di tangan lo itu... Apa selama ini lo punya keinginan buat nyakitin diri sendiri?" Gue menatap luka di pergelangan tangannya. "Lebih dari itu. Apa lo pernah sampai pingin bunuh diri? Dan pernah nyoba ngelakuin itu, sampai-sampai di waktu-waktu tertentu lo nggak masuk sekolah dalam waktu lama?"
Khayana meremas roknya seraya menggigit bibir bawahnya. Reaksi itu menjawab pertanyaan gue.
"Gue sayang sama lo, Khayana. Lo nggak tau seberapa menyesal gue malam itu. Gue bahkan nyesel karena nggak bisa sabar buat ngajak lo jalan... padahal tau kalo lo nggak nyaman sama makhluk semacam gue. Bikin lo ngelewati sesuatu yang selama ini lo hindari demi keamanan lo. Gue benci diri gue sendiri karena ternyata bahaya yang lo takuti itu adalah gue juga..."
"Lo nggak salah." Khayana bicara dengan suara bergetar. "Gue yang mau melewati batas itu. Gue yang nggak menjauh dan menghindari lo, Nand... Lo bikin gue pingin menang dari ketakutan gue... Lo bikin gue pingin hidup kayak cewek lain." Khayana mendongak, matanya memerah. "Tapi ternyata gue tetap sama aja, Nand... Sekuat apapun gue ngelawan, gue masih nggak bisa. Bayangan monster itu selalu ngikutin gue..."
"Then let me help you. Kita ke profesional," ucap gue halus.
"Gue..., masih bisa kayak yang lain 'kan, Nand?" tanyanya. Sorot matanya berubah menjadi secercah harap. Cairan yang sempat tergenang di sana membuat matanya berkilau.
"Iya, Khayana. Gue bakal nemenin lo ngelewati masa terapi, semuanya." Gue melangkah maju. Pelan..., gue memangkas jarak kami sedikit demi sedikit.
"Lo..., mau 'kan ngelewatin proses itu sama gue?" tanya gue, saat jarak kami semakin dekat.laDan Khayana, mengurai semua ketakutannya, di mana nggak ada gue di sana. Ia mengangguk dan berurai air math gue meraihnya ke dalam pelukan. Mendekapnya, merasakan getaran dan sakit yang dirasakannya.
Nggak ada perlawanan dari Khayana seperti hari itu. Yang ada adalah Khayana yang balas memeluk gue erat-erat. Menenggelamkan wajahnya di bahu gue demi membungkam tangisnya di sana kuat-kuat.
----------------------------------to be continued
Hmm.. pelukannya jangan lama-lama ya, Sayang... pelajaran di kelas udah dimulai hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
GENANDRA (END)
Ficção AdolescenteBagi Khayana, remaja perempuan yang kehilangan minat hidupnya karena dihantui trauma masa lalu, Enand adalah pahlawan. Bagi Enand, si bocah serampangan yang haus pengakuan hingga kabur dari rumah, Khayana adalah satu-satunya orang yang menganggapny...