BAGIAN 25 : Berbuat

12.5K 2.2K 103
                                    

ENAND

"Enand!" teriakan Khayana masih mampu gue dengar di tengah kebisingan.

Namun, gue mengabaikannya dan menghambur bersama kerumunan. Berdesakan untuk memantau jalannya balapan. Meski begitu, gue nggak berhenti memperhatikan Khayana. Alih-alih ke lintasan, perhatian gue justru sibuk memastikan keadaan Khayana, yang kini mendesak masuk kerumunan demi menyusul gue.

Di belakang Khayana, Sakta mengikutinya untuk menghalau senggolan orang-orang yang semaunya sendiri. Ia beberapa kali menunduk minta maaf saat orang-orang terlihat jengkel dengan langkah Khayana yang yang terkesan nggak memperhatikan jalan.

Gue menggertakkan gigi, kemudian mendekat ke arah Vasco untuk membatalkan taruhan ke dua, dan hanya mengambil kelas pembuka agar bisa segera membawa Khayana pulang.

Beruntung masih bisa.

Akhirnya, gue pun menyusup kerumunan lalu meraih tangan Khayana.

"Ayo pulang!" Gue menarik tangannya yang hampir menyentak karena kaget, lalu menyeruak kerumunan. Kami berjalan dalam diam, dengan langkah-langkah panjang dan cepat yang membuat Khayana susah payah menyamainya.

Ketika akhirnya sampai di tempat motor-motor terparkir, gue menghentikan langkah tiba-tiba dan membuat Khayana membentur punggung gue.

Gue menoleh kanan-kiri, mencari motor Sakta untuk mengambil helm yang tadi dikenakan Khayana untuk berangkat.

"Udah lancang ya lo sekarang, Ta? Sejak kapan gue ngurusin urusan lo, sampai lo juga ngurusin urusan gue sama Khayana?" Gue berucap sengit ke Sakya, lalu mengambil helm milik Khayana dari motornya.

Saat kembali ke tempat Khayana berdiri, yang nggak lain adalah di samping motor gue, gue melihat Khayana nggak bergeming.

"Mau pulang, kan?" tanya gue, lalu memberikan helm ke tangannya.

****

Gue membawa motor melintasi jalanan yang sudah sepi. Gue tahu ini motor matic, bukan motor balap. Tapi, perasaan gue yang kacau membuat gue memacunya dengan kecepatan di atas batas normal. Khayana mengeratkan lengannya yang melingkar di tubuh gue.

Suara decitan ban terdengar mengiris telinga. Gue mengerem tanpa repot-repot menurunkan kecepatan secara perlahan, ketika mendapati lampu merah menghadang kami.

Ketika detik mulai berkurang, gue kembali menarik pedal gas dan melesat.

"Enand! Lampunya belum hijau!" Khayana memekik seraya mengeratkan pegangan. Dan gue nggak menggubrisnya.

****

Gue menghentikan motor begitu sampai di rumah sakit. Saat gue tanya tadi, ia bilang bahwa malam ini ia akan bermalam di rumah sakit lagi.

Tangan Khayana masih melingkar erat di perut gue. Deru napasnya masih terasa akibat kebut-kebutan tadi. Begitu pula napas dan detak jantung gue, yang seolah masih berlarian melesat di jalanan.

"Turun," ucap gue akhirnya.

Alih-alih turun, Khayana justru mengeratkan pelukan. Samar-samar terdengar isakan. Di dalam helmnya, gue yakin aliran air matanya sudah membentuk sungai.

"Khayana..."

"Aku nggak mau kamu pergi dalam keadaan kayak gini!" Khayana bicara susah payah di sela tangisan, juga wajahnya yang ia tenggelamkan di bahu gue. Suaranya terdengar ketakutan, sementara pelukannya sama sekali nggam mengendurkan. "Aku nggak mau ninggalin kamu. Bisa aja kamu balik ke tempat itu lagi."

GENANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang