BAGIAN 14 : Berguna

14.4K 2.4K 144
                                    

ENAND

Khayana tengah menatap tetes demi tetes cairan yang mengalir melalui infus. Wajahnya yang memang sudah sendu, kini makin muram.

Ketika gue tanya perihal penyakit nyokapnya, dia cuma bilang bahwa nyokapnya dihimbau untuk nggak melakukan aktivitas sepadat dulu lagi, meski keadaannya sekarang berangsur membaik.

Ibunya adalah seorang karyawan di salah satu perusahaan import. Jam kerja padat tampaknya membuatnya kepayahan. Belum lagi harus mengurus rumah dan memikirkan segala hal yang seharusnya dipikul oleh dua orang. Ya, gue baru tau kalau ayah Khayana udah nggak ada, saat tadi gue bertanya apakah ayahnya sedang bekerja, sehingga Khayana harus menjaga ibunya seorang diri.

"Gue pingin bilang sesuatu yang baik sebenernya. Tapi gue nggak tahu apa." Gue tersenyum samar, ketika sebuah fakta pahit harus kembali menggenang dalam pikiran, demi mengukuhkan bahwa sekelumit fakta itu adalah sesuatu yang nyata dan nggak bisa diubah. "Nyokap gue meninggal waktu umur gue lima tahun. Waktu gue belum ngerti apa-apa. Jadi gue nggak ngerti gimana perasaan lo sekarang."

Khayana berpaling, demi melihat gue bicara.

"Gue umur lima, abang gue lima belas, dan adik gue baru tiga tahun. Gue ingat waktu itu gue masih suka nonton doraemon..., ada salah satu episode Nobita dikasih kalender untuk bikin satu hari libur sendiri yang akhirnya dia pilih sebagai hari bermalas-malasan. Waktu itu gue berandai-andai sendiri. Kalau seandainya gue yang dikasih kesempatan buat bikin tanggal merah itu, malah bakal bikin hari tanpa orang tua." Gue tertawa, tanpa sadar... gue udah menunduk, menatap selimut yang menutupi kaki nyokap Khayana dengan tatapan kosong.

"Nggak lama setelah itu..., nyokap pergi. Lo tau, Na? Gue cuma minta satu hari. Satu hari nggak dengerin nyokap-bokap berantem. Satu hari nggak liat nyokap nangis..., bukan selamanya."

Gue menoleh ke arah Khayana yang mendengarkan gue tanpa suara.

"Gue nggak tau lo beruntung atau justru sial. Tapi kalau pun sial, gue mau menjalani hidup punya lo sehari. Cukup satu hari. Ngerasain ngerawat nyokap..., ngerasain..."

Tenggorokan gue terasa tercekat. Suara gue nggak keluar... bayangan Mama yang mengalami masa berat di akhir hidupnya, tanpa gue bisa berbuat apa-apa karena usia gue yang masih terlalu kecil, memenuhi kepala.

"Nand... " Khayana bersuara, halus seperti angin siang hari yang damai.

"Seperti lo, gue mungkin nggak bakal ngebiarin nyokap gue sendirian," ucap gue, yang kini menatap ibunya.

Giliran Khayana yang menatap ibunya, lalu ia menghela napas cukup panjang.

"Gue yang nggak bisa sendiri," katanya lirih. "Kadang gue berpikir. Kekhawatiran gue kalau Ibu nggak ada, itu murni rasa sayang ke Ibu, atau cuma buah dari rasa takut karena udah nggak punya siapa-siapa lagi buat bergantung." Ia meremas tangannya kuat-kuat, lalu melanjutkan. "Untuk alasan ke dua, gue benci diri gue yang itu."

"Semua orang takut sendirian, Na." Lalu gue teringat ucapan Papa sebelum gue pergi dari rumah. "Seperti yang bokap gue bilang. Gue nggak bisa hidup kalo bukan karena campur tangan dia. Bahkan meskipun gue udah kabur dari rumah dan jadi menyedihkan kayak sekarang."

Mendengar penuturan gue, Khayana menampakkan raut agak terkejut.

Gue tertawa. "Iya. Bukan tanpa alasan gue tinggal di kosan yang listriknya suka mati itu. Gue keluar dari rumah karena udah muak sama bokap gue yang suka ngatur. Iya, semua orang tua suka ngatur. Tapi bokap gue ngatur bukan karena peduli. Melainkan buat kepentingan dan ambisinya sendiri. Dia bahkan nggak peduli adik gue di rumah sakit sekarang. Gue muak. Mau sampai kapan dia kayak gini? Nunggu ada korban lagi kayak nyokap gue? Atau kalo kehilangan lagi, dia tinggal cari yang baru, kayak dia nikah lagi buat gantiin nyokap? Kalo kehilangan anak, dia tinggal punya anak lagi sama istrinya yang baru?"

GENANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang