BAGIAN 13 : Serendipity

14.8K 2.6K 124
                                    

ENAND

Kalau telat bisa bikin umur berkurang, mungkin sekarang gue udah mati. Dan nggak akan baris macam antri BLT begini.

Pak Satu, maksud gue Pak Wahid, mulai merumuskan dengan khidmat hukuman-hukuman apa saja yang bakal kami jalani. Kalau nggak salah hitung tadi, ada sekitar belasan anak datang terlambat pagi ini. Cukup banyak daripada biasanya.

Siapa suruh habis pensi sampai larut, besoknya masih disuruh masuk. Gue yakin banyak yang izin nggak masuk. Entah pura-pura sakit atau dengan dalih kepentingan keluarga. Jadi, dengan gue masuk kayak gini, hitungannya udah termasuk rajin. Harusnya gue dikasih pengahargaan dong, bukan malah hukuman.

Gue melirik lagi ke kanan-kiri. Sebagian yang berbaris di sini adalah wajah-wajah lama. Dan gue adalah salah satunya. Mata gue agak menyipit untuk membentuk fokus, kala melihat sosok yang berdiri di pojok barisan.

Khayana. Posturnya yang mungil terhalang oleh tubuh di sekitarnya, sehingga membuat gue baru menyadari keberadaannya.

"Kamu sama dia, bersihin lab.komputer!" Pak Wahid menunjuk gue dan seorang cowok anak kelas sebelas, yang berbaris sejajar dengan gue.

Nggak lama setelah itu, barisan dibubarkan untuk menuju tempat dilaksanakannya hukuman masing-masing. Melihat Khayana yang juga berjalan ke arah yang sama, karena kebagian membersihkan perpustakaan yang letaknya nggak jauh dari lab.komputer, gue segera menghampirinya dan berjalan di dekatnya.

"Lo baru pertama kali telat, ya?" tanya gue, menilai dari mukanya yang masam dan seperti menyesal.

Khayana menoleh sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

"Semalem..., lo udah nggak keganggu lagi? Lampu rumah sakit nggak tiba-tiba kedip-kedip dan mati kayak di film horror 'kan?" tanya gue, menyinggung kejadian semalam. Oh iya... karena ibunya lagi dirawat, jadi semalam gue mengantarnya ke rumah sakit, bukan ke rumah.

Sinar matahari berhenti menyengat ketika kami sampai di koridor. Tawa Khayana sempat terlepas, ketika mendengar ocehan gue yang mungkin menurutnya terbilang konyol. "Nggak kok, Nand. Emang nggak biasa aja ambil rute busway dari RS, jadi salah ngira-ngira waktunya."

Gue mengangguk. Wajar sih, Khayana terbiasa menggunakan transportasi umum kemana-mana.

"Makasih ya... Semalem udah nolongin gue," katanya.

Gue membalas dengan sepenggal anggukan. Percakapan singkat itu berakhir ketika Khayana dan partnernya, seorang cewek yang sepertinya kelas sepuluh, tiba di perpustakaan. Kami pun berpisah dengan seulas senyum dari bibirnya.

Kalau gue nggak salah, ini pertama kalinya kami berbicara tanpa ketegangan, juga dengan ketakutan yang jauh berkurang dari cara Khayana menatap.

****

Untuk saat-saat tertentu, waktu berputar bergitu cepat. Mungkin sekitar empat hari gue nggak menghubungi Irene.

Hari ini, tahu-tahu gue mendapat kabar bahwa dia terjangkit Demam Berdarah. Duh, Ren... kok bisa sih? Gue yang dikatain tinggal di lingkungan kumuh aja, sehat sampai sekarang. Dia yang di rumah serba bersih, makanan sehat, lingkungan sekolah juga elit, malah kena!

Gue masuk ke ruang rawat inap dan menemukan Irene terbaring lemas dengan infus di tangannya. Gue yang belum pernah dirawat, memicingkan mata karena ngeri sekaligus nggak tega membayangkan kulitnya harus ditusuk jarum. Di samping Irene, Kazi sedang menyuapinya makan malam.

Terlihat Irene berusaha menjauhkan kepalanya untuk menolak suapan, yang oleh Kazi diklaim sebagai suapan terakhir.

"Kaa-chan..., udah..." Irene mulai merengek.

"Coba sini." Gue meraih piring dari tangan Kazi, kemudian langsung menempelkan sendok berisi bubur bertabur ayam itu ke bibir Irene tanpa basa-basi. Karena gue nggak mau melepaskan kalau dia nggak membuka mulut, maka secara terpaksa ia menerima dan melahapnya.

"Udah ya," kata Irene dengan wajah memohon. Kazi pun mengangguk, lalu mengambilkannya minum.

"Papa nggak ke sini?" tanya gue ke Kazi.

"Ke sini semalem, bareng sama Arsen."

"Semalem? Hari ini?"

"Nanti katanya mau video call."

Gue berdecak.

"Papa kamu jadwalnya padat, Nand. Bukan dia sendiri yang nentuin agendanya. Schedule-nya berkaitan sama orang banyak..."

Gue menatap Kazi yang tengah menyimak berita di televisi. Berita itu disiarkan oleh penyiar wanita seumurannya. Gue teringat bahwa dulunya, Kazi adalah jurnalis handal, sebelum ia memilih mengakhiri kariernya dan menikah dengan Papa.

Entah apa yang membuatnya rela bersama pria dingin macam itu, membuang masa mudanya, dan ikut mengambil limpahan tanggung jawab atas tiga anak yang sudah besar. Well, yang punya tanggung jawab malah lebih banyak mengabaikan tanpa rasa bersalah.

"Lo di sini dari kemarin?" tanya gue.

"Gantian sama Mbak Kalis," jawabnya, menyebut nama asisten rumah tangga di rumah kami.

"Malam ini gue aja yang jaga. Lo pulang aja," ucap gue tanpa menatapnya. Ada harapan supaya Kazi nggak melontarkan penolakan atau pertanyaan. Karena sejujurnya, gue bingung memilih kata-kata apa untuk menjelaskannya.

"Kamu udah makan, Nand?" tanya Kazi, membuat gue agak tersentak, karena nggak mengantisipasi topik yang ia bahas. "Kalau belum, aku mau delivery order nasi bebek buat kita makan malam. Kesukaan kamu 'kan?"

Tiba-tiba, kami berdua dikagetkan oleh suara yang keluar dari perut gue. Seketika Kazi tersenyum, "oke, aku pesen sekarang ya..."

Gue cuma terdiam. Menyumpah serapah perut sialan ini dalam hati.

****

Pukul sembilan malam, Irene sudah tertidur. Gue yang bosan, memutuskan untuk keluar menghirup udara segar. Saat gue tengah berjalan melewati blok lain, gue melihat figur seseorang yang sepertinya gue kenal.

Dia berjalan sambil membawa kantung kresek berwarna hitam, menuju salah satu kamar.

"Khayana!" Gue berseru, yang langsung mendapat pelototan dari suster, juga orang-orang yang tengah berjalan di sekitar lorong itu.

Gue pun menunjukkan gesture menunduk untuk meminta maaf, lalu berlari mengejar Khayana, yang sudah berhenti berjalan dan menoleh ke gue.

"Hei! Gue baru inget nyokap lo dirawat di sini juga," sapa gue.

"Lo..., ngapain di sini?" tanyanya, menampakkan wajah terkejut.

"Adek gue kena demam berdarah. Dirawat dari kemarin."

"Oh.."

"Lo dari mana? Abis belanja?"

Khayana mengangguk. "Lo sendiri?"

"Hmm, nggak spesifik sih. Cuma mau cari angin aja."

Khayana terdiam sebentar, lalu melirik ke arah kamar yang sepertinya tempat ibunya dirawat. "Um, Nand. Gue..., masuk dulu boleh?"

"Oh iya, boleh-boleh. Ya boleh lah. Sori ganggu."

Khayana menggeleng, "nggak pa-pa," balasnya. Kemudian saat ia hendak masuk, gue memanggilnya lagi.

"Um, Na! Kalo gue ikut masuk boleh, nggak? Jengukin nyokap lo. Tapi... gue nggak bawa apa-apa sih," kata gue sambil menggaruk kepala.

Senyum Khayana terurai, kali ini memperlihatkan giginya. Ia pun mengangguk memperbolehkan.

----------------------------------to be continued

Jadi ini Enand mau pedekate sama calon mertua gitu, ya??

Pedekate sama mams tiri dulu sana...

Latihan jadi anak berbakti dulu, baru jadi menantu berbakti. Betul nggak?

(Oh iya, Kaa-chan itu adalah panggilan buat Ibu. Formalnya Okaa-san sih. Ada juga yang Kaa-san, Okaa-chan. Tapi biasanya pake Kaa-chan aja, soalnya lebih informal dan pendek)

GENANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang