ENAND
Warna-warna soft mendominasi tempat praktek Mas Keenan. Dia teman Arsen, yang pernah gue ikuti sesi konselingnya. Bukan konseling serius. Dulu gue sempat butuh manajemen emosi aja karena kedapatan sering tantrum.
Entah bagaimana Arsen menjalin hubungan baik dengan temannya ini. Mas Keenan oke-oke aja waktu gue bilang teman gue ada yang nyoba ngobrol sama dia. Dia bahkan nggak mempermasalahkan biaya.
Atau mungkin..., dia bakal nagih ke Arsen? Yang jelas, di sinilah gue sekarang. Berada di ruang tunggu bersama Khayana.
Well, tentu saja nggak berdekatan. Khayana duduk di sofa panjang warna tosca yang terletak dekat lemari yang menyimpan beberapa buku. Sementara gue berdiri dekat dinding, persis seperti hiasan rumahan. Kaki gue bergerak-gerak dari tadi. Entah kenapa jadi gue yang gugup, padahal yang mau konsul Khayana.
"Nand..." panggil Khayana.
"Hm?" Gue menoleh ke arah Khayana.
"Gue nggak pa-pa kok lo duduk di sini," katanya pelan. Matanya melirik ke arah space yang tersisa di sofa. Berjarak satu bantal dari tempatnya duduk.
Kaki gue berhenti bergerak. Mungkin dia mengira gerakan gue ini adalah wujud dari lelah karena berdiri. Hm..., nggak salah juga sih. Tapi, bukan itu kok.
Gue tersenyum. "Nggak pa-pa kok. Santai aja."
"Gue serius," katanya lagi.
Gue menatap Khayana sesaat, lalu melirik tangannya yang seperti mencengkeram sesuatu.
"Jangan nekan kuku ke kulit lo lagi. Baru gue duduk situ," kata gue.
Mendengar itu, Khayana sedikit terkejut. Ia lalu menatap tangannya sendiri, kemudian membukanya perlahan.
Gue mendekat. Mata Khayana mengikuti seiring langkah gue mendekat dan akhirnya duduk di sampingnya. Gue merogoh sesuatu dari dalam celana, lalu mengeluarkannya.
"Kemarin, gue iseng buka online shop." Gue meletakkan sebuah jam tangan warna merah ke tangan Khayana yang sedang terbuka. "Jam ini punya lampu yang bisa nyala. Di sana juga ada menu buat manggil nomor darurat," lanjut gue, menjelaskan dan mencoba fungsinya satu per satu.
Setelah selesai mengoceh soal tombol-tombol jam seperti Mas-Mas Sales, gue menatap mata Khayana. "Gue harap dengan lo pake ini kemana-mana, lo nggak takut lagi pas monster itu datang."
"Gue... nggak bisa nerima ini. Udah terlalu banyak yang lo lakuin buat gue."
Gue tersenyum. "Anggap aja ucapan terima kasih dari gue karena lo udah maafin gue dan masih mau ngomong sama gue setelah kejadian hari itu."
Khayana menggeleng. "Gue yang makasih. Lo nggak ada kewajiban ngelakuin ini. Lo bisa pergi kayak yang lain. Tapi... lo malah ngelakuin semua ini." Ada jeda beberapa saat sebelum ia melanjutkan lagi. "Gue memang sempat takut sama lo, Nand. Tapi gue nggak pernah ngebenci lo."
Gue nggak bicara. Sebagai gantinya, tangan gue bergerak untuk mengambil jam di tangannya, berniat memasangkan benda itu ke pergelangan tangannya.
"Gue..., boleh pegang tangan lo?" tanya gue hati-hati.
Khayana menjawab dengan anggukan seraya memberikan tangan kirinya ke gue. Dan benda itu pun berhasil terpasang dalam beberapa detik.
Tidak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Sesi pertemuan konsultasi dimulai.
****
Khayana tengah duduk di kursinya, ketika gue menghampirinya ke kelas. Beberapa anak juga masih tinggal di ruangan, meski bel pulang sudah berbunyi sejak lima menit lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GENANDRA (END)
Teen FictionBagi Khayana, remaja perempuan yang kehilangan minat hidupnya karena dihantui trauma masa lalu, Enand adalah pahlawan. Bagi Enand, si bocah serampangan yang haus pengakuan hingga kabur dari rumah, Khayana adalah satu-satunya orang yang menganggapny...