1

2.8K 232 132
                                    

Aku suka warna putih.

Aku tidak ingat sejak kapan aku mulai suka warna putih, tapi sejak kecil aku selalu beranggapan bahwa segala sesuatu yang berwarna putih pasti indah. Seperti gaun pernikahan Mama misalnya, yang sering aku lihat di album foto lama. Atau es krim vanila, yang selalu ada di kulkas, menunggu untuk kuhabiskan. Snow, kucing peliharaanku yang suka memanjat pohon itu juga punya bulu yang putih bersih seperti salju. Dan aku yakin Snow juga suka warna putih karena dia selalu menghabiskan susunya waktu sarapan.

Sebenarnya, aku sempat punya kucing lain selain Snow. Namanya White, dan dia mati ketika aku masih kecil.

Waktu itu umurku baru lima tahun. Mama membelikan balon helium putih ketika ia pulang dari minimarket. Aku suka balon itu, balon itu besar, mengkilap, mengapung di udara, tidak seperti balon biasa yang kutiup dengan nafas. Dan balon itu berwana putih, sama seperti White.

White mengeong ketika aku bermain dengan balon itu di teras. Aku takut White akan melompat dan cakarnya yang tajam akan membuat balonku meletus, jadi aku mulai berlari, menghindar. White terus mengeong. Bola matanya yang biru terang seolah mengajakku untuk main bersama.

Aku yang waktu itu masih berumur lima tahun dan sedang kecapekan karena berlari itu akhirnya menemukan satu ide.

Apa White bisa menjadi balon?

Aku selalu menonton kartun Spongebob setiap pagi, dan ada satu scene yang membuatku mendapatkan ide cemerlang itu. Ada adegan dimana guru pengemudi Spongebob, Nyonya Puff akan mengembang dan menjadi seperti balon ketika sedang kaget atau takut waktu Spongebob mengemudi. Mama memberitahuku kalau ikan seperti itu memang ada di dunia nyata, Mama menyebutnya ikan buntal.

Jadi aku pikir, mungkin White juga bisa menjadi seperti ikan buntal. Bukankah lucu kalau kucing itu bisa mengembang bulat seperti balon. Seperti Nyonya Puff yang ada di kartun Spongebob.

Jadi ketika aku memutuskan untuk berhenti berlari dari White, aku naik ke atas meja, tempat dimana White tidak bisa meraihku. Dengan susah payah aku melepas benang yang mengikat di mulut balon agar tidak lepas itu. White mulai mencakar-cakar kaki meja.

Balon itu kini tidak terikat, cuma jemariku yang menjepit agar gas yang didalamnya tidak keluar dan terbang ke mana-mana. White masih ada di kaki meja. Bagus.

Aku melompat dari atas meja, menerjang White. Kucing putih itu meraung ketika aku menangkap kedua kaki depannya dengan tangan kiriku, kaki belakangnya menendang-nendang, mencoba mencakar bajuku yang agak kotor kena bulu kucing dan keringat.

Taring-taring kecil mulai terlihat ketika White meraung tanpa henti. Bagiku, itu seperti pintu masuk yang terbuka lebar. Dan begitu saja, helium dari dalam balon itu keluar sedikit demi sedikit, masuk ke dalam mulut White yang rahangnya sudah kutahan dengan jari. Bisa kurasakan suara raungan White yang berubah, suaranya mengecil dan semakin lemah ketika batuk, begitu juga dengan kaki belakangnya yang tidak lagi memberontak.

Ah, sebentar lagi White bisa mengembang seperti balon. Seperti ikan buntal. Seperti nyonya Puff. Bayangkan White yang berbentuk bulat. Mungkin dia akan terlihat seperti bola salju berbulu dengan mata biru yang lucu, dan ketika aku memeluknya dia pasti akan terasa sangat lembut seperti boneka yang baru dibeli dari pasar malam.

Ketika aku merasakan sudah tidak ada lagi gas yang keluar dari balon, lamunanku pun sirna, begitu juga dengan bola salju berbulu yang aku bayangkan.

White terbaring di pangkuanku. Bulu-bulu putihnya yang rontok menempel di baju dan tanganku yang penuh air liur kucing itu. White tidak bergerak. Itu hal pertama yang aku sadari.

Ah, iya. Aku lupa satu hal. Ikan buntal itu hidup di air. Mungkin, White bisa benar-benar jadi balon kalau kutenggelamkan dalam air. Iya. Pasti seperti itu.

Jadi, aku membawa kucing itu ke kamar mandi, memasukkan seluruh tubuhnya dalam air. Sebentar lagi. Tunggu, sebentar lagi.

Mungkin dia butuh waktu untuk berubah jadi balon. Mungkin White harus dikagetkan seperti nyonya Puff agar tubuhnya bisa mengembang. Atau kucing pemalas itu memang sedang tidur. Aku tidak tahu, aku sudah mengangkatnya dari bak, sudah mengguncang tubuhnya, menekan-nekan perutnya seperti dokter yang memompa jantung, tapi White masih tidak bergerak.

Ada tiga kemungkinan kenapa White tidak bergerak: Dia keracunan helium, dia mati tenggelam, atau dia mati karena aku terlalu keras menekan perutnya. Aku tidak tahu yang benar yang mana, tapi kuharap White tidak mati dengan cara yang menyakitkan.

Apa aku sedih ketika hewan peliharaan kesayanganku mati? Entahlah, aku juga tidak tau. Dadaku sesak, tapi aku tidak menangis sama sekali. Malah, aku merasa kalau White terlihat sangat cantik waktu itu, sama seperti foto pernikahan Mama yang tidak bergerak. Membeku dalam waktu.

Dua tahun selanjutnya, Mama membelikan kucing baru. Kucing yang masih kurawat dan tumbuh besar sampai aku berumur enam belas tahun saat ini. Snow.

Mama yang memberi nama Snow. Dengan satu harapan: agar musim semi tidak datang dengan cepat.


CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang