15

330 75 1
                                    

Racun B itu apa?

Arsenik mungkin? Racun yang sudah membunuh Simon Bolivar dan juga Napoleon Bonaparte yang terkenal saat masa revolusi prancis. Atau botolinum toxin, racun yang pernah ada di cerita Sherlock holmes. Atau mungkin Sianida, racun itu sedikit terkenal akhir-akhir ini. Tidak. Tebakanmu itu salah.

Biar aku beri petunjuk; racun B ini mudah larut dan menempel pada benda di sekitar, aku bahkan harus cuci tangan menggunakan anti-toxin ketika aku tidak sengaja menyentuhnya kemarin. Dengan dosis sedikit, racun ini bisa menyebabkan kematian kalau sampai masuk ke tubuh atau tertelan.

Karena itu....

Berbeda dengan racun A yang kumasukkan ke permen pelega tenggorokan, aku mengoleskan racun B ke mic kesayangan Julia. Ini adalah bagian yang paling penting, karena itu aku melakukannya sendiri, bukan dengan bantuan Elio atau Putri. Seperti kue ulang tahun, siapa pun boleh membuat adonan, memanggang, mendekor, tapi cuma aku yang boleh meniup lilinnya.

Saat itu, Julia dan teman-temannya sedang bercanda di kursi taman dekat hall. Satu hal yang aku syukuri, Julia tidak membawa tas. Barang-barang pribadinya tidak ada bersamanya, begitu juga dengan mic berstiker bintang itu.

Aku menyuruh Elio untuk segera masuk ke dalam. Tatapan matanya menyelidik, tetapi ketika dia melihat Julia yang tertawa lepas di bangku taman, Elio kelihatannya tidak mau ambil pusing dengan apa yang ingin aku lakukan.

Begitulah, aku berpisah dari Elio dan mempercepat langkah menuju belakang panggung.

Julia yang pemalu tidak akan meninggalkan barang pribadinya di belakang panggung yang ramai dengan para kontestan yang tidak ia kenal. Ruangan yang luasnya sama seperti aula sekolah itu penuh dengan kursi lipat, gaun dan kostum bertebaran, dan penuh raut wajah yang kompetitif serius yang membuat suasana terasa sesak. Tidak. Tas Julia tidak mungkin ada di sini. Julia juga berada di urutan tengah, mungkin dia juga belum masuk ke sini.

Lalu aku pergi ke tempat parkir. Tas Julia yang berharga mungkin ada di dalam mobilnya, berada di bangku penumpang atau di bagasi. Tidak. Percuma. Benda itu tidak ada di sana setelah aku mengintip lewat kaca mobilnya yang tertutup.

Lalu di mana? Kalau aku jadi Julia, aku akan menaruh tas itu di mana?

“Kau mencari ini?”

Seorang gadis dengan gaun putih melangkah mendekat, pelan, seperti tidak biasa memakai heels. Rambutnya lurus mengembang, jepit rambut bermotif bintang perak berkilau di atas telinga . Penampilan sempurna. Julia.

Julia mengayunkan tas selempangnya di depan wajahku. Senyum puasnya melebar, seolah dia yakin kalau tebakannya tadi itu benar.

“Iya, aku mencari itu,” kataku.

“Kenapa?” tanyanya, dia membuka resleting kecil dalam tas. “Tidak cukup kau ingin meracuniku dengan permen abal-abalmu ini?”

Ada emosi dalam setiap tarikan nafasnya, tapi itu bukan kemarahan. Bukan. Tidak. Dia tidak marah padaku. Walaupun alisnya mengkerut dan berbicara dengan nada yang kasar, tapi dia tidak marah, sama sekali. Kenapa?

“Kemarin Putri datang ke rumahku, dia bilang permen ini darimu. Kata Putri, kau ingin berbaikan dan ingin melihatku tampil di panggung. Terima kasih.” Julia tertawa kecil, meremehkan. “Tapi kau tahu, Fenella. Permen pelega tenggorokan yang asli baunya tidak seperti obat-obatan ini.”

Kemarin? Tidak. Sudah kubilang pada Putri. Seharusnya hari ini. Tidak. Seharusnya tidak seperti ini. Kemarin. Dia bilang kemarin. Dia tahu permen itu dariku. Tidak. TidakTidakTidakTidak. Jangan bilang kalau itu dari aku, aku ingat pernah berkata seperti itu, pada Putri. AkuIngatAkuIngatAkuIngat. Aku pernah berkata seperti itu, seharusnya seperti itu. Tapi....

“Kau tidak perlu takut seperti itu, Fenella,” kata Julia. Gadis itu tersenyum. “Sebenarnya, aku berencana untuk bunuh diri hari ini.”

***

“Apa yang kau lakukan?!” Elio berteriak padaku setelah kami keluar dari Hall. “Kau sudah membunuh. Kau sudah membunuh Julia! Apa yang sudah kau lakukan?!”

Walaupun ada hal yang tidak pernah kuduga, tapi rencana itu berhasil. BerhasilBerhasilBerhasil!

Julia mati di atas panggung, menjadi bintang, dan meninggalkan histeria yang tidak akan terlupakan.

Dia mengikuti rencanaku. Julia memakan permen itu sebelum naik ke atas panggung. Racun A membuat air liurnya keluar tanpa kendali. Meskipun begitu, dia tetap menyanyi. Hingga saat dia menempelkan bibirnya di mic yang sudah kuolesi dengan racun B, persis seperti rencanaku. Racun B itu masuk dan tercampur dengan air liur, lalu tertelan, masuk ke dalam tubuh. Sempurna. Dia mati tepat di tengah-tengah penampilannya.

“Kau gila, Fenella!” Elio memukul tembok, menghantam apa pun yang ada di sana.

Setelah Julia jatuh tergeletak di atas panggung, polisi datang lebih cepat dari yang aku duga. Mereka menutup area Hall dari orang luar. Aku, Elio, dan semua orang termasuk penonton, kontestan, sampai panitia kompetisi ini dipindahkan ke ruangan lain yang lebih besar. Seperti kue dalam oven, kami semua menunggu untuk diinterogasi.

Satu-satunya barang bukti adalah mic Julia yang beracun. Putri yang menjadi penonton pun ikut diinterogasi. Aku yakin dia tidak bercerita apa-apa tentang permen pelega tenggorokan yang kuberi. Cuma mic itu. Cuma itu.

Dalam rencanaku, seharusnya aku sendiri yang mengoleskan racun B itu ke mic Julia, menggunakan tisu, lalu membuang tisu beracun itu ke toilet untuk menghilangkan barang bukti. Akan tetapi, Julia mengubahnya. Julia sendiri yang mengoleskan racun itu, dengan jemarinya sendiri.

Ketika polisi menyadari ada sisa racun di kulit jari Julia, juga surat bunuh diri yang ada di tasnya. Polisi menetapkan itu sebagai bunuh diri.

“Tidak. Kau yang sudah membunuhnya. Kau berencana membunuhnya.” Elio tetap bersikeras. Dia membawaku ke rumahnya setelah kami selesai diinterogasi dan boleh pulang.

Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Bukankah Elio seharusnya senang kalau salah satu murid yang sudah mem-bully Luna dulu akhirnya mati? Bukankah ini yang dia inginkan, balas dendam? Balas dendam yang manis?

“Bukan. Tidak. Bukan seperti itu. Aku cuma mau balas dendam. Aku tidak mau jadi pembunuh!”

Dengan lengan kurusnya, Elio mendorongku, memojokkanku ke sisi ruang tamu. Vas yang pecah, meja kursi yang tidak pada tempatnya, benda yang berserakan. Elio yang membabi buta seperti orang yang sudah kehilangan akal sehat.

“Kau ini kenapa sih, Elio?”

Elio mencengkeram bahuku kuat sampai jari-jarinya gemetar, nafasnya yang panas terasa seperti kereta api yang seperti akan segera menabrak wajahku. “Aku kenapa, katamu? Kau yang kenapa, Fenella. Kau tidak sadar? Kau sudah membunuh Julia!”

 “Membunuh, ya? Aku tidak tahu apa yang kulakukan tadi termasuk membunuh.” Aku memalingkan wajah, tidak tahan dengan tatapan penuh emosi yang Elio arahkan padaku. Membuatku muak. “Julia ingin mati. Dia tahu tentang racun itu, dia tahu tentang rencanaku. Meskipun begitu, dia tetap....”

“Rencana yang kau ceritakan padaku tidak seperti itu, Fenella! Seharusnya. Seharusnya....” Elio melepas cengkeramannya pada pundakku yang mulai nyeri. Jemarinya yang frustrasi itu mulai bergerak ke kepala, menjambak rambutnya sendiri sampai dia menunduk, berjongkok. “Seharusnya rencana tidak seperti ini, kan? Seharusnya Julia cuma kesulitan mengontrol air liur karena racun A. Racun B itu apa? Kau sama sekali tidak pernah membicarakan rencana itu padaku.”

Ini pertama kalinya aku datang ke rumah seorang laki-laki, dan aku disuguhkan dengan semua omong kosong ini. Kenapa? Kenapa Elio peduli pada Julia? Kenapa Elio tidak mau Julia mati? Lihatlah, dia bahkan menangisi kematiannya.

“Racun B itu... kalau kau tidak membawanya, Julia tidak akan mati, kan?”

Mungkin. Aku juga berpikir seperti itu waktu pertama kali. Tetapi tidak. Hidup ini penuh kejutan. Kau tidak tahu betapa gilanya Julia. “Walaupun aku tidak meracuninya, Julia masih tetap akan mati. Dia berencana untuk menusuk dirinya sendiri di atas panggung.”

Julia itu... benar-benar sudah gila.

***

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang