Lovers 2

261 52 0
                                    

Kematian Julia seperti membawaku ke tempat yang begitu jauh. Tempat yang asing, yang tidak pernah sekali pun kukunjungi sebelumnya.

Tidak ada suara di dalamnya. Dunia yang mengerikan, berwarna hitam putih seperti tuts piano. Aku terdampar di dalamnya, seolah tenggelam. Sesuatu menarikku, jemari-jemari lentik yang kukenal, membawaku ke dasar jurang patah hati. Jauh. Sangat jauh. Sampai aku yakin tidak ada yang bisa menemukanku di tempat ini.

Namun, dia datang.

Di dalam duniaku yang waktunya sudah berhenti, dia mendekat.

“Kau, suka pada Julia, ya?”

Seharusnya, cuma aku yang tahu hal itu. Cuma aku. Aku yang sudah memendamnya tanpa pernah disadari oleh siapa pun, termasuk Julia itu sendiri.

“Karena kau yang kelihatan paling sedih ketika Julia tiada.”

Aku tidak tahu. Aku hanya ingin menumpahkan semua air mata ini. Aku ingin mendengar suara merdu Julia lagi, waktu dia memanggil namaku, menyapaku, mengucapkan selamat pagi, bertanya ada pr apa hari ini. Senyumnya. Suaranya. Aku ingin memeluknya. Erat. Sampai aku yakin dia tidak akan lepas lagi.

“Tapi, dia sudah tidak ada. Kau tahu itu.”

Iya, aku tahu. Aku memang tahu. Tapi....

“Sama. Aku juga berharap seperti itu. Aku berharap Julia masih ada di sini.”

Bola mata Tasya yang kecokelatan menatapku, seolah kami membagi kesedihan yang sama. Seolah kami berada di dunia yang sama; dunia hitam putih tanpa satu pun suara. Dia dan aku duduk. Saling menemani. Aku menjatuhkan kepalaku di bahunya. Air mataku keluar ketika dia menepuk punggungku, mengelusnya seakan aku ini anak kecil yang perlu ditenangkan.

Tidak apa-apa. Aku ada di sini.

Lalu aku mendengar isakan dari samping telinga. Tasya juga menangis. Jemarinya yang mengelus punggungku, samar-samar gemetar.

Tidak apa-apa. Aku juga ada di sini.

Kuletakkan telapak tanganku di punggun Tasya, mengelusnya seperti anak kecil. Sepertiku. Bersama, kami saling menguatkan.

***

Kami lebih sering bersama sejak saat itu. Kami pulang bareng, sesekali mampir ke kafe yang ada di dekat sekolah, mengobrol hingga lupa waktu dan sadar-sadar matahari sudah terbenam, digantikan oleh lampu jalan.

Aku tidak pernah merasa seperti ini.

Tasya, jelas berbeda dengan Julia.

Dia tidak punya ciri fisik yang menonjol, suaranya melengking, juga bukan orang yang punya obsesi kuat. Tidak seperti Julia yang terobsesi pada musik. Tasya mengakui keberadaanku. Dia peduli, dan dia memperhatikan. Seolah aku terhubung padanya.

Ada benang merah yang menyatukan kami. Samar-samar, aku bisa melihatnya. Benar, itu dia. Benang merah.

Benang merah yang masuk ke jantungku, yang membuat jantungku berdetak lebih cepat ketika aku bersamanya.

Mungkin akan jahat kalau aku jatuh cinta lagi. Padahal Julia baru saja pergi, tapi aku malah jatuh cinta lagi dalam waktu sedekat ini. Apa-apaan diriku ini. Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa....

Semuanya beterbangan. Mengambang di udara.

***

Hari ini hari Minggu. Ini mungkin terdengar gila, tapi aku benar-benar sudah mengajak Tasya untuk pergi berdua. Kencan, bisa dibilang. Walaupun aku tidak tahu Tasya menganggap ini kencan atau bukan. Bagaimanapun, hubungan kami masih di tahap teman. Tidak lebih.

Aku berjanji untuk menemuinya di rumahnya. Tasya bilang, dia biasanya akan berolahraga di taman kompleks dengan orang tuanya. Aku tidak mau merusak aktivitas keluarga itu, jadi aku berjanji akan datang jam sebelas.

Jam sebelas, api besar sudah menyelimuti rumah Tasya.

Api. Api. Api di mana-mana. Apa yang terjadi?

Dua mobil pemadam kebakaran menyemburkan air, beberapa petugas polisi mengamankan lingkungan sekitar. Warga bergerombol, menutup mulut, tidak percaya, sama seperti aku. Mustahil. Ini mustahil. Aku tidak bisa menemukannya. Di antara warga yang bergerombol itu, aku tidak bisa menemukan Tasya.

Sudah berapa lama? Kebakaran ini, sudah berapa lama?

Apa sudah ada petugas pemadam yang masuk? Apa mereka sudah menyelamatkan penghuni rumah ini? Apa mereka sudah menyelamatkan Tasya.

Tidak, tentu saja tidak. Aku tidak ingin mempercayai diriku sendiri. Diriku yang berkata tidak tidak tidak tidak ini. Mungkin, mungkin, kalau ada satu kemungkinan terburuk....

Lalu aku melihatnya. Benang merah.

Benang merah yang mengikat hatiku dengan hati Tasya itu, masuk ke dalam rumah. Tasya masih di dalam rumah. Dia masih terkurung di dalam. Aku yakin. Aku yakin. Dia masih ada di dalam rumah yang dipenuhi api itu. Aku yakin.

Tidak. Tidak. Aku tidak mau. Jangan lagi. Jangan pergi lagi. Aku tidak mau dia pergi.

Aku tidak akan membiarkannya. Jangan seperti Julia. Tasya harus tetap berada di sampingku.

Tanpa sadar, aku sudah berlari masuk, menerobos api. Orang-orang dari luar memanggilku, berteriak padaku seolah aku ini binatang lilar yang lepas dari kandang.

Mungkin memang benar, mungkin saja aku ini memang binatang. Aku tidak lagi menggunakan logika manusia. Aku menggunakan insting. Insting binatang yang tidak mempedulikan bahaya yang mengepungku dari segala arah. Api dan kayu-kayu yang terbakar, berjatuhan.

Benang merahku, menuntunku ke satu kamar. Benang merahku yang menyala terang, menyuruhku untuk mendobrak pintu itu, Tasya pasti ada di sana. Menungguku untuk menolongnya.

Ternyata benar. Benang merahku ternyata benar. Tasya ada di sana. Tertindih di bawah lemari kayu yang sebagian besar sudah terbakar, miniatur-miniatur kecil berbaring di sisinya, seolah menemaniya dalam kesakitan.

Tasya. Tasya. Aku terus berteriak memanggil namanya. Berteriak memintanya agar idak pergi terlalu jauh. Berteriak agar dia selalu berada di sisiku. Di sampingku. Aku ingin dia. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.

Kupeluk dia. Tidak apa-apa, aku ada di sini. Tidak apa-apa, aku ada di sini. Tidak apa-apa. Dan aku mulai mengeluarkan air mata. Di tengah api yang meronta ini, air mataku seperti es yang mencair.

“Fe.”

Aku mendengar suara. Suaranya. Suaranya yang tidak semerdu suara Julia, tapi bisa membuatku jatuh cinta.

“Nella.”

Apa? Apa katanya? Fenella? Tunggu, itu tidak penting. Tasya masih hidup. Dia masih hidup. Masih ada harapan. Kalau aku mengeluarkannya dari sini, dia pasti masih bisa selamat. Bisa. Pasti bisa selamat. Tasya tidak akan pergi meninggalkanku.

Aku berusaha menyingkirkan lemari yang menindihnya. Panas. Tentu saja panas. Kulit dan bajuku terasa seperti terbakar. Mungkin sudah seperti melepuh. Napasku juga terasa berat, oksigen ini perlahan habis terbakar. Tidak. Aku harus cepat.

Aku harus cepat.

Kugendong Tasya yang terkulai lemah di punggung. Berjalan tegak dengan dua kaki rasanya sangat berat, meski begitu, aku tetap melangkah. Perlahan, melewati kobaran api yang menghalangi pintu kamar.

Semakin aku melangkah, semakin berat. Kaki gemetar sangking tidak kuatnya, napasku terbatuk-batuk, dan kepalaku terasa pusing, sangat pusing, mataku seperti berputar, lalu buram. Aku sudah sampai di ruang tengah. Sebentar lagi. Beberapa langkah lagi. Sedikit lagi, Tasya bisa selamat.

Aku yakin.

Pasti.

Sebentar lagi, kami akan kembali ke dunia yang terang itu. Bersama.

***

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang