17

281 68 2
                                    

Dear diary

Ini hari ke berapa, ya? Kalau nggak salah ingat sih udah sekitar dua minggu sejak Ayah dipenjara. Mungkin sudah selama itu, mungkin, aku juga nggak terlalu peduli.

Dua minggu. Anggap aja dua minggu. Setelah selama itu, kurasa aku udah biasa dengan ketidakberadaan Ayah di rumah. Eh, sama aja sih sebenernya. Sebelum Ayah dipenjara pun dia juga jarang banget ada di rumah. Berangkat pagi buta, pulang larut malem sambil mabuk. Sejak dulu kayak gitu.

Kalau dilihat dari sisi positifnya, menurutku emang lebih baik kalau Ayah duduk diam di penjara. Aku nggak perlu lagi cium bau alkohol. Sumpah deh, bau alkohol tuh bikin pusing banget. Aku juga nggak perlu lagi makan sarapan hambar yang dia bikin. Nggak perlu ngelihat wajahnya lagi. Pokoknya, setelah Ayah dipenjara, hidupku jadi lebih fresh gitu.

Tapi, ya. Tetep aja ada sisi negatifnya. Emang ya, Ayah ini kayaknya selalu bawa dampak negatif deh. Bahkan habis dia dipenjara pun, dampak negatifnya masih bisa kurasain. “LUNA ADALAH ANAK SEORANG PEMBUNUH!” Gara-gara tulisan di mading itu. Gara-gara ayah, aku jadi di-bully sekelas. Tolol banget ya emang. Kalau aku mau, aku juga nggak pengen jadi anaknya pembunuh itu.

Cuma ada Fenella, juga Elio---kakakku satu-satunya---yang bisa ngerti.

Tapi lagi-lagi, Tuhan itu usil banget deh. Kanker otak Elio makin parah. Kemarin dia bilang kepalanya sakit banget, pusing. Wajahnya waktu itu pucat banget, keringatnya dingin, terus akhirnya, dia pingsan.

Bulan kemarin, dokter pernah bilang kalau umur Elio tinggal beberapa tahun lagi. Nggak banget, kan? Nggak mungkin, ya? Aku juga nggak percaya. Tapi kalau lihat dia drop kayak kemarin, rasanya... aaaaaaaaa!!

Aku nggak mau Elio mati!

Aku nggak mau lihat Elio mati!

Kalau kakakku itu nggak ada, terus aku gimana?

XOXO
Luna

 

***

 

“Jadi kau benar-benar mau ke penjara, ya?”

Elio keluar dari rumah dengan memakai celana Jeans panjang, kaus, juga zipper yang sama dengan yang dia pakai waktu ke Hall kompetisi Julia. Buku diary putih milik Luna sedikit mencuat dari tas punggung kecil yang dia bawa.

“Kau sudah kusuruh pergi, kan, Fenella?” Elio melirik sinis. Marah. Takut. Jjijk. Dia melihatku sebagai apa?

“Aku tidak bisa membiarkanmu pergi, Elio.” Kupindahkan tubuhku, menghalangi jalannya. “Kau tidak boleh ke penjara.”

“Berisik.”

Dia mengulurkan tangan kurusnya ke pundakku, gerakannya lambat seperti sudah bosan mendorongku. Saat itu, aku meraih lehernya. Jemariku melingkar menyentuh kulit lehernya yang tipis. Dingin, tapi juga hangat. Arteri. Vena. Berdenyut. Leher Elio, terasa hidup.

“Kau....” Elio melotot, mengernyit. Gemetar.

“Ah, maaf.”  Aku mengendurkan jemariku, lalu menariknya perlahan. “Maaf, aku tidak bermaksud....”

“Kau ingin membunuhku?!” Elio terbatuk, mengelus lehernya sendiri. “Seperti Julia, kau juga ingin membunuhku, kan?!”

“Tidak, tidak. Cuma... aku tidak mau kau melapor....”

“Aku ingin bertemu Ayah,” lirih Elio, lalu melirikku, lalu memalingkan wajahnya lagi. “Sial, sial, sial. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Harus bagaimana. Aku butuh....”

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang