5

628 107 39
                                    

Namaku Fenella Auri. Walaupun aku tidak terlalu percaya dengan ramalan, tapi aku suka dengan zodiakku; pisces. Aku suka warna putih---sama seperti yang aku bilang dulu---tapi aku tidak suka dengan krim kocok pada kue tart, itu membuatku sedikit mual. Kalau aku makan kue tart, aku selalu menyisakan bagian stroberi untuk kumakan terakhir. Bagian pertama kali yang kumakan adalah bagian roti yang punya sudut paling kecil, lalu bagian pinggir dan belakang, selanjutnya tengah, baru setelah itu aku makan stroberinya. Singkat kata, aku selalu menyisakan bagian terbaik untuk yang terakhir.

Aku tahu kalian tidak tertarik dengan fakta di atas, tapi laki-laki berwajah menyebalkan ini bertanya, “Namamu Fenella Auri, kan?” Seolah dia tahu semuanya tentang diriku.

Aku mengangguk tegas sebagai jawaban. Dia tersenyum puas setelah bola matanya bergerak naik turun menatap bergantian wajahku, dadaku, wajahku, dadaku, ah mungkin dia melihat name tag di dadaku, dari sana dia tahu namaku.

Lalu kenapa?

“Adikku sering bercerita tentangmu.”

Adiknya? Aku bersedekap, meneliti penampilannya dari atas sampai bawah. Dia tidak setua perkataannya, senyumnya seperti anak kecil yang suka iseng, tapi aku menyadari satu hal; dia kakak kelas. Kelas dua belas, terlihat dari tiga garis merah pada dasinya.

“Ah, iya,” katanya, seolah melupakan sesuatu yang paling penting. “Namaku Elio....”

Aku hampir tersenyum kecut mendengar nama itu. Elio. Dewa matahari. Mengingatkanku pada gadis bulan yang kehilangan sinar mataharinya.

“....Aku kakaknya Luna.” Dia pasti bercanda, tapi seolah meyakinkanku, dia berkata, “Kau masih ingat Luna, kan?”

Aku tidak mungkin lupa dengan gadis yang bunuh diri di depan mataku. Aku menahan tawa geli ketika membayangkan akan menjawab seperti itu. Tapi harus kuurungkan, sebagai gantinya, aku cuma memasang senyum yang mungkin bisa dianggap seperti senyum sedih, lalu bertanya, “Kau... kakaknya Luna.” Karena aku memang masih belum percaya sepenuhnya.

Akan tetapi, laki-laki yang mengaku bernama Elio itu tertawa. Suara tawanya ringan, sama seperti saat dia bicara. “Luna tidak pernah cerita, ya, kalau dia punya kakak laki-laki.” Elio menghela nafas, lalu menerawang langit-langit dengan mata yang berkaca-kaca, membayangkan masa lalu. “Benar juga. Luna pasti tidak akan mau membicarakan keluarganya.”

Aku menatap Elio dari samping ketika aku sedang membuka kembali kumpulan ingatan lama tentang Luna. Sebagai orang yang mengaku kakak beradik, Elio memang punya beberapa kemiripan fisik dengan Luna; tulang hidung yang pendek, rambut hitam lurus, telinga yang agak lancip di bagian atasnya,  alis tebal yang membuat matanya terlihat lebih bulat. Bahkan air mata yang tertahan di pelupuk matanya juga terlihat sama.

“Luna benci dengan ayahnya,” Elio langsung menoleh ketika aku berkata seperti itu.

“Kau tahu?”

Aku mengangguk. “Luna bilang itu sebelum....”

“Sebelum Luna bunuh diri, ya.” Elio menatapku penuh simpati yang tak kumengerti. “Aku bisa membayangkannya. Luna pasti mengganggapmu benar-benar sebagai teman baiknya kalau dia mau menceritakan hal itu padamu.”

Refleks, sudut-sudut bibirku terangkat mendengar perkataannya.

“Terima kasih. Terima kasih karena sudah mau berteman dengan adikku, bahkan ketika Luna di-bully teman-teman sekelasnya, kau masih mau menyemangatinya. Aku sungguh-sungguh berterima kasih.”

Aku semakin tidak nyaman dengan ucapan terima kasih yang berlebihan itu, sehingga aku mundur beberapa langkah ke belakang. Elio teru memandangku dengan alis terangkat.

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang