26

257 60 1
                                    

Tiga buah bangku kosong dengan bunga lili putih di setiap mejanya itu, terasa hampa. Seperti piring kue yang kuenya sudah habis tak tersisa.

Yang tersisa cuma stroberi. Buah kecil yang manis itu sekarang duduk sendirian, membenamkan dirinya sendiri ke dalam krim-krim penyesalan.

Sekarang? Apa yang ingin kau lakukan, Putri?. Putri si Stroberi. Putri si Pengkhianat. Julukan mana yang kau suka?

Kalau sudah begini, kau pasti ingin menyusul sahabatmu itu, kan? Kau ingin pergi ke tempat Luna berada. Benar begitu, kan?

Maaf saja kalau salah, aku suka menebak-nebak pikiran orang lain. Dan, orang seperti kaulah yang paling mudah di tebak, Putri.

Sebentar, pasti kau sedang memikirkan tentang Luna. Luna lagi. Luna lagi. Kau pasti sedang berandai-andai; andai saja aku tidak menulis kalimat itu di papan tulis; andai saja aku tidak menempelkan potongan-potongan koran itu di dinding; andai saja aku tidak memulai semuanya. Andai saja... seorang Putri masih bersahabat dengan Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi.

Aku tahu, kau dan Luna adalah sahabat semasa kecil, kan?

Benar begitu, kan, Putri? Kau dulunya berteman baik dengan Luna?

Aku yakin benar begitu.

Awalnya ini cuma perasaanku saja, tapi aku tahu, Luna seringkali memperhatikanmu. Dan kau juga sering melirik Luna. Seperti ada hubungan yang tidak terlihat di antara kalian berdua.

Kau berteman dengan Julia, Tasya, dan Vero cuma sebagai pelampiasan. Kau cuma ingin seseorang menggantikan posisi Luna. Kau cuma ingin membanggakan diri. Mungkin kau ingin membuat Luna cemburu atau semacamnya. Kau ingin membuatnya sakit hati.

Bodohnya kau, kau terlalu berlebihan.

Luna sekarang mati.

Dan kau?

Kau pasti berpikir ingin mati juga.

***

“Kenapa?” Putri berbalik, menatapku di antara rambut-rambutnya yang berkibar diterpa angin. “Kenapa kau tahu aku ada di sini?”

“Bisa dibilang, tebakanku benar.” Aku tersenyum setenang mungkin. “Kau tahu, sejak dulu aku suka menebak-nebak.”

Kami ada di rooftop. Adegan yang familier untukku; Putri berdiri di sisi paling ujung gedung sekolah, dan aku perlahan melangkah mendekat. Ekspresi wajahnya berkata, “Jangan mendekat!” kepadaku.

“Aku tidak akan menghentikanmu, Putri.” Kubuat nada suara itu sama seperti saat aku berkata pada Luna dulu. “Aku tidak akan menghentikanmu. Aku cuma ingin sedikit bicara sebelum kau menjatuhkan diri.”

“Tidak ada yang perlu dibicarakan.”

Semakin dekat aku melangkah, tubuh Putri semakin gemetaran. Dia ingin menjaga jarak, tapi dia tidak bisa mundur lebih jauh lagi. Kengerian muncul di wajahnya ketika sesekali dia menengok ke bawah.

“Dulu, kau melihat mayat Luna yang remuk di tanah, kan? Kau masih ingat? Darah ada di mana-mana, sendi yang hampir terlepas dari tempatnya....”

“Tidak.” Putri menggeleng, senyum kecutnya terlihat samar. “Aku tidak takut. Percuma saja kau menakutiku seperti itu.”

“Tidak, tidak, kau salah paham. Aku tidak ingin menakutimu.” Selangkah demi selangkah, kakiku bergerak pelan. “Aku cuma ingin kau mengingatnya.”

“Kalau kau mendekat lagi, aku akan lompat!”

Aku menghela nafas panjang. “Sudah kubilang, aku tidak berniat untuk menghentikanmu. Kau bisa melakukannya sekarang kalau kau mau.” Aku melanjutkan langkahku. “Tapi, biarkan aku melihatmu jatuh. Aku ingin lihat bagaimana ekspresimu dari dekat, bagaimana ekspresimu waktu melayang di udara, ekspresi waktu gravitasi menarikmu, tekanan yang akan membuat tubuhmu terkoyak sebelum menyampai tanah. Aku ingin melihat ekspresimu di saat-saat terakhir hidupmu.”

Semakin dekat, aku bisa melihatnya. Dada Putri yang kembang kempis menghembuskan udara, wajah pucatnya yang diterpa sinar matahari, juga helai rambutnya yang melayang-layang seolah ingin segera mengucapkan selamat tinggal.

“Kau tahu, bagaimana ekspresi Luna waktu terjatuh?” Sudah pasti tidak tahu, keheningan singkat yang terjadi sudah menjawabnya. “Biar kuberi tahu, ekspresi Luna waktu terjatuh hari itu, dia tersenyum.”

“Apa maksudmu? Kau ada di sana? Kau melihat Luna jatuh?” Putri mengernyit, meninggikan volume suaranya yang dipenuhi tanda tanya. “Kenapa? Kenapa kau tidak menyelamatkan Luna?”

“Tentu saja tidak.” Menggelikan, aku sampai tidak kuat menahan tawa. “Orang yang ingin bunuh diri itu butuh tekad yang kuat. Luna sudah mengumpulkan tekadnya dengan baik, tidak mungkin kan aku menggagalkannya begitu saja.”

Putri menggeleng heran, tidak mengerti.

“Begini, anggap saja impian Luna adalah ingin mati. Lalu, dia sudah menemukan jalan untuk menggapai impiannya itu, yaitu dengan bunuh diri. Dia sudah punya cara dan tekadnya pun sudah bulat. Nah, apa kau tega merebut Luna dari impiannya itu? Tentu saja tidak, kan?”

Putri melotot menatapku, tangannya ada di posisi seperti ingin menjauhkanku. Dia menoleh ke bawah dengan cepat, lalu kembali padaku dengan cepat juga.

“Tenang saja, Luna dulu juga seperti itu.” Jarakku dengan Putri sekarang mungkin tinggal dua meter. Lebih dekat lagi, aku ingin lebih dekat. “Luna dulu juga sering menengok ke bawah seperti itu, lalu keraguan masuk ke dalam hatinya, merusak tekad yang sudah dia kumpulkan. Waktu itu, dia juga takut, sama sepertimu.”

Sekelibat ingatan masa lalu berputar di kepalaku, terbayang dengan jelas di depan mata.

“Iya, dia ragu-ragu. Lalu, untuk meyakinkannya lagi, aku mendorongnya.” Aku mempercepat langkah, sampai telapak tanganku bisa meraihnya, mendorong Putri. “Seperti ini.” Persis sama seperti yang kulakukan pada Luna.

Benar seperti itu, sekarang tunjukkan padaku bagaimana ekspresimu waktu terjatuh.

Aku ingin melihatnya. Sekarang juga.

Angin berhembus menerpa wajahku, menghapus senyumku. Ada suara. Pintu rooftop yang dibanting terbuka, lalu derap sepatu yang berlari. Cepat. Terlalu cepat. Aku tidak bisa melihat siapa itu. Tiba-tiba saja, tubuhku seperti ditarik dari belakang, terlempar ke tengah.

Seseorang menolong Putri. Laki-laki itu. Dia. Kenapa dia melakukannya?

Elio menarik lengan Putri yang sudah terjatuh di sisi gedung. Dia berteriak, “Bertahan! Aku akan menarikmu ke atas!”

Kenapa? Padahal dia seharusnya senang kalau Putri mati. Kenapa Elio ada di sini?

“Ternyata benar, ya,” kata Elio, berjalan ke tengah, sebelah tangannya merangkul Putri yang tegang dan gemetaran. “Akhir-akhir ini, ada surat yang diselipkan di kolong mejaku. Surat yang sebenarnya sulit untuk kupercaya.”

Surat? Surat apa? Apa maksudnya?

“Jadi itu benar-benar kau ya, Fenella.” Nada suara Elio meninggi, lebih keras. Emosinya memuncak. Dia merogoh saku celana, mengeluarkan lembaran-lembaran kertas putih, lalu melemparkannya padaku.

Kertas-kertas putih itu beterbangan ke segala arah, terbawa angin, salah satu lembar kertas itu jatuh di depan kakiku. Di sana tertulis....

FENELLA YANG MENDORONG LUNA. DIA YANG MEMBUNUHNYA!

***

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang