Once Upon a July 2

320 66 0
                                    

“Kau ini siapa?”

Setiap kali aku terbangun, pertanyaan itu selalu membayangi kepalaku, berputar-putar. seperti piringan hitam yang tidak memiliki akhir.

Dari jutaan manusia yang ada, aku ini sosok yang bagaimana? Apa tujuanku hidup di dunia ini? Apa yang ingin aku lakukan? Bahkan bayanganku di cermin pun tidak bisa menjawabnya. Pertanyaan itu terulang, kembali padaku.

Ketika aku menanyakan hal itu pada Mama pagi ini, Mama memelukku dan menjawabnya dengan, “Kau ini anak Mama yang paling istimewa.”

Bukan jawaban yang ingin kudengar. Bukan. Bukan seperti itu maksudku. Mama tidak mengerti.

Aroma teh hangat yang dibuat Mama terasa menyesakkan, dan sarapan hari ini terasa  hambar. Aku makan tanpa semangat walaupun aku tidak bermaksud seperti itu. Selama ini, aku selalu memasang wajah tersenyum ketika bersama Mama. Aku tidak ingin membuatnya kecewa. Tapi hari ini, mungkin aku sudah cukup lelah untuk berpura-pura.

***

Di sekolah, seperti biasa aku lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Putri sedang menceritakan film yang dia tonton di TV kemarin, Tasya dan Vero berkomentar sesekali, dan aku cuma bisa tersenyum dan tertawa untuk menunjukkan antusiasmeku pada obrolan mereka.

Kalau diperhatikan, Putri terlihat seperti bintang. Semakin lama aku berteman dengannya membuatku sadar, sosoknya yang terang itu benar-benar membuatku iri. Dia seakan bisa pergi ke mana pun, bebas melakukan apa pun. Dan aku. Aku cuma menjadi pendengar, penonton yang hanya bisa duduk diam.

Apa ini yang aku mau? Apa ini diriku yang sebenarnya?

“Julia, kau mau ikut?”

Tasya menyenggol lenganku. Aku mengedarkan pandangan untuk mendapat jawaban. Apa yang mereka bilang tadi? Namun, ketika mataku bertemu dengan bola mata hitam Putri, aku sadar kalau semuanya menatapku dengan bingung.

“Kami mau akan pergi karaoke minggu ini. Kau mau ikut?” Putri bertanya dengan tempo yang pelan, senyumnya kecil seolah memaklumi aku yang sudah melamun dan tidak mendengar obrolan mereka.

“Karaoke?”

“Suaramu waktu berbicara itu merdu lho, pasti nyanyianmu juga merdu.” Vero memuji, atau mungkin menggoda. Mendengar kata-kata seperti itu keluar dari mulut seorang laki-laki, cukup membuatku menunduk, menyembunyikan wajahku yang mungkin memerah.

“Benar, benar. Kau harus ikut, Julia. Aku ingin mendengarmu menyanyi!” Tasya berseru. Semangat dalam suaranya membuatku tidak sanggup menolak. Tidak. Sejak awal aku memang tidak bisa menolak. Rasa senang yang ada di dadaku ini tidak akan membiarkanku berkata tidak.

Jadi, Minggu ini kami pergi ke karaoke. Putri memboncengku dengan sepeda. Dia terlihat dewasa dengan rambut panjang yang terurai, kaus kasual, dan celana jeans panjang. Tidak ada yang lebih cocok memakai itu semua kecuali Putri sendiri.

Vero dan Tasya sudah memesan tempat ketika kami datang. Ruangan yang tidak terlalu jauh dari lobi, lorong sebelah kanan, poster-poster bertema musik terpasang di seluruh dinding. Ketika pintu terbuka, nafasku tertahan saking kagumnya. Ini jauh lebih baik dari bayanganku; sofa panjang berwarna merah yang terlihat empuk, meja yang mengkilap, televisi dan speaker besar yang seolah siap menyanyikan lagu apa saja. Juga mic kecil yang seolah memanggil.

Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Bayangan Grand-père yang memainkan piano, aku yang bersenandung, rok gaun yang mengembang, berputar-putar. Aku pulang. Ini dunia yang kukenal. Dunia musik yang sudah lama kutinggalkan.

Sejak Mama bangkrut, aku hanya bisa menikmati musik dari radio tua yang bergemerisik. lama sekali. Rasanya lama sekali. Aku bahkan hampir lupa kalau pernah ada dunia seperti ini dalam hidupku.

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang